Laman

Rabu, 18 Juli 2012

Contoh Proposal

BAB I
PENDAHULUAN

1.        Latar Belakang
            Dalam kehidupan manusia di dunia ini selalu tidak lepas dari dari tuntutan-tuntutan. Tuntutan itu secara garis besar dapat kita bagi menjadi dua golongan yaitu tuntutan jasmani dan tuntutan rohani. Untuk memenuhi tuntutan itu manusia selalu sedaya mungkin berusaha sehingga tercapai kehidupan yang sempurna.

            Sastra mempunyai nilai penting dalam mencapai kepuasan batin manusia. Sastra mempunyai nilai keindahan sehingga mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Hal ini karena sastra dapat memberikan kesenangan kepadanya. Sastra mempengaruhi cara berfikir manusia terhadap hidup ini. Hal ini karena dalam sastra karena terdapat pengalaman hidup manusia. Selain itu sastra memiliki nilai estetika yang dibutuhkan manusia untuk memenuhi kebutuhan rohani, karena sastra adalah seni.
            Karya sastra sebagai bagian dari kegiatan budaya yang intlektual diciptakan pengarang untuk dibaca, dipahami, dinikmati serta dimanfaatkan oleh masyarakat pembaca. Sebab tanpa pembaca, sastra itu tidak mempunyai arti dalam keberadaannya. Jakob Sumarjo mengemukakan bahwa karya sastra adalah:


(1)
“ Ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat dan keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkrit yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.”
            Sehingga diharapkan melalui karya sastra akan dapat menghasilkan insan-insan yang peka terhadap keindahan, mempunyai fikiran yang kritis dan mampu membedakan yang baik dan yang buruk.
            Sehubungan dengan hal yang di atas, Jakob Sumarjo dan Saini KM mengatakan:
(2)
“ Bahwa dengan membaca karya sastra pembaca dapat mengetahi kebenaran-kebenaran hidup, pembaca mendapatkan sesuatu kegembiraan dan kepuasan batin sehingga kebutuhan terhadap naluri keindahan terpenuhi, serta menolong pembaca menjadi manusia yang berbudaya.”
            Dengan demikian semakin banyak  kita rajin membaca karya sastra semakin banyak pula kita memperoleh pengetahuan tentang pemahaman hidup dan kehidupan ini, serta kaya pula akan kerohanian.
            Bertitik tolak darin uraian diatas, maka sastra tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, amatlah penting artinya. Sekolah adalah sasaran utama memberikan pelajaran dan memperdalam pengajaran sastra.
            Namun perlu disadari bahwa untuk mendapatkan hasil yang maksimaldalam menikmati atau mengapresiasi sebuah karya sastra tidaklah semudah yang kita duga. Banyak faktor yang menghambat untuk mengapresiasi sastra tersebut. Dengan adanya hambatan-hambatan ini, orang selalu mengkesampingkan sehingga apa yang dituju untuk mengapresiasi dan menikmati sastra tidaklah secara sempurna pula.
            Cerpen sebagai salah satu karya sastra diciptakan untuk menyampaikan nilai-nilai kebenaran, moral dan kehidupan serta berbagai peristiwa yang melibatkan aspek kehidupan, seseorang berfikir serta mempertimbangkan sesuatu sebelum ia memutuskan.
            Untuk mendapatkan hal-hal tersebut di atas, maka di sekolah-sekolah diajarkan suatu teori ataupun cara-cara yang ditempuh untuk menggumuli karya sastra tersebut. Dengan adanya teori ini diharapkan siswa akan mampu mengapresiasi sebuah karya sastra, sehingga apa yang diinginkan dari sastra itu akan terwujud. Dalam hal ini penulis mengambil pendapat Yus Rusyana, yakni:
(3)
“ Untuk kependidikan, tujuan pengajaran sastra, tentulah merupakan bagian dari tujuan pendidikan keseluruhannya, karena proses belajar dan mengajarkan sastra merupakan bagian dari proses pendidikan.”
            Mengingat pentingnya nilai penelitian bagi pembinaan dan pengembangan pengajaran sastra, maka sudah pada tempatnya jika dilaksanakan penelitian mengenai kemampuan mengapresiasi sastra oleh siswa.
Karya sastra termasuk cerpen, berkembang sesuai dengan perkembangan zaman sehingga dikatakan bahwa karya sastra adalah cermin masyarakat. Sehubungan dengan itu penelitian ini akan difokuskan pada cerpen, berarti juga penggambaran masyarakat Indonesia  saat cerpen diciptakan.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis akan mencoba mengangkat permasalahan mengenai teori apresiasi. Dengan demikian lengkapnya judul penelitian ini adalah: “KORELASI ANTARA PENGUASAAN TEORI APRESIASI FIKSI DENGAN KEMAMPUAN MENGAPRESIASI CERPEN SISWA KELAS II JURUSAN AKUNTANSIYA YAYASAN PERGURUAN SWASTA SMK-2 HARAPAN MEKAR MEDAN TAHUN AJARAN 2011/2012.”
2.        Identifikasi Masalah
            Sebelum kita membicarakan ruang lingkup masalah terlebih dahulu penulis ingin menulis pendapat Winarno Surakhmad tentang apa yang dimaksud dengan masalah. Menurutnya masalah adalah setiap kesulitan yang menggerakkan manusia untuk memecahkannya. Jadi masalah adalah kendala yang dihadapi manusia dalam menjalani kehidupannya.
            Untuk menilai suatu penelitian terlebih dahulu kita harus mengetahui masalah apa yang kita teliti. Selanjutnya kita akan mulai melangkah mencari tahap-tahap pemecahannya. Tahap pertama dalam penelitian ini adalah tahap perumusan masalah. Muhammad Ali dalam bukunya mengatakan:


(4)
“ Perumusan masalah pada hakekatnya adalah generalisasi deskripsi ruang lingkup masalah, pembatasan dimensi dan analisa variabel yang tercakup di dalamnya. Dalam hal ini perumusan masalah dapat dibuat dalam bentuk pertanyaan deskripsi maupun pertanyaan sekitar masalah yang diteliti.”
            Sehubungan dengan pendapat di atas Winarno Surakhmad menambahkan:
(5)
“ Sebuah masalah yang dirumuskan terlalu umum dan luas tidak daapat dipakai sebagai masalah penyelidikan. Oleh karena tidak akan pernah jelas batasan masalah itu. Oleh sebab itu masalah perlu memenuhi syarat dalam perumusan yang terbatas.”
            Dapat ditarik kesimpulan bahwa masalah penelitian ilmiah itu berupa pertanyaan deskripsi di sekitar masalah yang dihadapi dan masalah itu tidak boleh terlalu umum, harus dipersempit ruang lingkupnya.
            Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah bersifat mencari korelasi penguasaan teori apresiasi fiksi dan kemampuan apresiasi cerpen. Untuk melihat kedua variabel tersebut dipergunakan tes yang diberikan kepada siswa untuk dikerjakan.
            Selanjutnya melalui jawaban-jawaban yang dikerjakan akan diketahui penguasaan siswa terhadap teori apresiasi fiksi dan kemampuan siswa mengapresiasi cerpen.


3.        Batasan Masalah
            Masalah yang diteliti adalah masalah yang pemecahannya dibutuhkan oleh banyak orang. Untuk membatasi masalah itu Gorys Keraf dalam bukunya mengatakan:
(6)
“ Setiap penulis harus betul-betul yakin bahwa pokok yang dipilihnya cukup kecil atau sifatnya sedemikian khusus untuk digarap. Kecenderungan setiap penulis baru adalah adalah mengungkapkan sesuatu yang terlalu umum, akibatnya uraian menjadi kabur dan pemakaian istilah yang tidak tepat.”
            Mengingat luasnya cakupan masalah yang berhubungan dengan kemampuan mengapresiasi cerpen ini, maka penulis perlu membatasi masalah. Pembatasan masalah ini dilakukan dengan berbagai pertimbangan demi tercapainya tujuan penelitian. Adapun pertimbangan itu menyangkut keterbatasan waktu dan biaya yang tersedia.
            Pada penelitian ini yang menjadi pusat penelitian penulis adalah penguasaan teori apresiasi fiksi. Cerpen merupakan salah satu fiksi. Maka dalam hal ini penulis memilih cerpen sebagai objek yang diapresiasi.
            Penelitian akan difokuskan pada kemampuan para siswa dalam mengapresiasi fiksi yang berbentuk cerita pendek (cerpen) ini. Kemampuan untuk mengapresiasi itu akan penulis batasi lagi pada unsuur instrinsik yang membangun cerpen tersebut. Adapun unsur instrinsik yang penulis maksudkan menyangkut peristiwa cerita (alur atau plot), tokoh cerita, (karakter), tema cerita, latar cerita (setting), sudut pandang pengarang (point of view), gaya (style), dan suasana penceritaan.
            Penulis memilih sebuah cerita pendek karya seorang pengarang yang bernama A.A. Navis dalam Laut Biru Langit Biru, 1977. Judul cerita pendek yang penulis pilih yaitu “Orde Lama”.

4.        Rumusan Masalah
            Rumusan masalah berfungsi sebagai tumpuan pokok persoalan. Dalam perumusan masalah dibuat rumusan yang lebih spesifik terhadap masalah yang akan diteliti. Hal ini sesuai pendapat Nursyam (1991:85):
(7)
“ Langkah berikutnya bagi seorang peneliti apabila sudah menemukan masalah dengan memperhatikan hal-hal yang pertama, masalah dirumuskan dalam bentuk kalimat tanya. Kedua, hendaknya dalam kalimat yang padat dan jelas. Ketiga, rumusan itu hendaknya memberi petunjuk tentang kemungkinan mengumpulkan data guna menjawab pertanyaan yang terkandung di dalamnya.”
            Berpatokan pada pendapat di atas, maka masalah dirumuskan dalam bentuk pertanyaan. Maka dalam penelitian masalah dirumuskan, yakni:
1.      Sejauh manakah tingkat penguasaan teori apresiasi fiksi siswa kelas II Jurusan Akuntansi Yayasan Perguruan Swasta SMK-2 Harapan Mekar Medan tahun ajaran 2011/2012.
2.      Sejauh manakah kemampuan apresiasi cerpen siswa kelas II Jurusan Akuntansi Yayasan Perguruan Swasta SMK-2 Harapan Mekar Medan tahun ajaran 2011/2012.
3.      Adakah korelasi tingkat penguasaan teori apresiasi fiksi dengan dengan kemampuan apresiasi cerpen siswa kelas II Jurusan Akuntansi Yayasan Perguruan Swasta SMK-2 Harapan Mekar Medan tahun ajaran 2011/2012.
5.        Tujuan Penelitian
     Pada dasarnya tujuan merupakan sasaran atau titik tujuan yang akan dicapai seseorang begitu juga dalam penelitian ini. Tujuan ini harus dinyatakan dalam bentuk perumusan, karena perumusan tujuan sangat membantu dalam memecahkan masalah. Maka dalam hal ini penelitian dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1.      Untuk memperoleh hasil tentang penguasaan teori apresiasi fiksi oleh siswa kelas II Jurusan Akuntansi Yayasan Perguruan Swasta SMK-2 Harapan Mekar Medan tahun ajaran 2011/2012.
2.      Untuk memperoleh tentang kemampuan apresiasi cerpen oleh siswa kelas II Jurusan Akuntansi Yayasan Perguruan Swasta SMK-2 Harapan Mekar Medan tahun ajaran 2011/2012.
3.      Untuk mengetahui kolerasi penguasaan teori apresiasi fiksi dengan kemampuan apresiasi cerpen oleh siswa kelas II Jurusan Akuntansi Yayasan Perguruan Swasta SMK-2 Harapan Mekar Medan tahun ajaran 2011/2012.

6.        Manfaat Penelitian
     Manfaat penelitian yang diharapkan adalah:
1.      Bagi siswa, dapat memberikan penambahan wawasan apresiasi sastra, khususnya cerpen.
2.      Bagi guru, dapat dijadikan sebagai masukan (informasi) untuk meningkatkan mutu pengajaran serta meningkatkan prestasi anak didik.
3.      Memberikan sumbangan bagi dunia pendidikan, khususnya bidang studi Bahasa dan Sastra Indonesia.
4.      Sebagai bahan studi bagi mahasiswa yang melakukan penelitian yang relevan di kemudian hari.
7.        Anggapan Dasar           
            Anggapan dasar dalam penelitian ini adalah:
1.      Teori apresiasi fiksi telah di ajarkan dikelas II Jurusan Akuntansi Yayasan Perguruan Swasta  SMK-2 Harapan Mekar Medan.
2.      Siswa kelas II Jurusan Akuntansi Yayasan Perguruan Swasta SMK-2 Harapan Mekar Medan memiliki penguasaan terhadap materi apresiasi fiksi.
3.      Siswa kelas II Jurusan Akuntansi Yayasa Perguruan Swasta SMK-2 Harapan Mekar Medan memiliki kemampuan untuk mengapresiasi cerpen.
    
           

DAFTAR KUTIPAN
1.        Jakob Sumarjo, Apresiasi Sastra Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1986), hal. 3.
2.        Jakob Sumarjo dan Saini KM, Apresiasi Kesusastraan (Jakarta: Gramedia, 1988), hal. 8
3.        Yus Rusyana, Bahasa dan Sastra Dalam Gamitan Pendidikan (Bandung: Diponegoro, 1984), hal. 313.
4.        Muhammad Ali, Penelitian Pendidikan Prosedur dan Strategi (Bandung: Tarsito, 1982), hal. 2.
5.        Winarno Surakhmad, Dasar dan Teknik Research (Bandung: Tarsito, 1982), hal, 36.
6.        Gorys Keraf, Komposisi (Flores: Nusa Indah, 1984), hal. 112.
7.        Nursyam, Analisa Wacana Pragmatik (Solo: Assifa, 1991), hal. 85.



BAB II
KERANGKA TEORITIS, KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

1.        Kerangka Teoritis
            Kerangka teori merupakan rancangan teori yang berhubungan dengan hakekat untuk menjelaskan pengertian-pengertian variabel yang diteliti. Kerangka teoritis diupayakan untuk menjelaskan ciri dari variabel tersebut. Beberapa perangkat teori yang relevan akan dimanfaatkan sebagai pendukung pada masalah yang akan diteliti.
a.         Kemampuan
            Pengertian kemampuan yang dimaksud dalam penelitian ini merujuk kepada pengertian yang diberikan oleh Ichsan yang dikutip oleh Yusmaniar Noor dan kawan-kawan dalam laporan hasil penelitian mereka. Mereka mengatakan:
(1)
            “ Yang dimaksud dengan kemampuan adalah daya pemahaman, penghayatan, dan keterampilan yang diperlihatkan oleh siswa SMA Sumatera Utara dalam mengapresiasi karya sastra, terutama cerita rekaan.”
b.        Apresiasi
Istilah apresiasi dalam penelitian ini diartikan sebagai sesuatu yang meliputi aspek kognitif, aspek emosional dan aspek evaluatif. Hal ini sejalan pada pendapat Ichsan sebagai berikut:


(2)
“ Aspek kognitif yang dimaksud ialah dapat tidaknya memahami masalah-masalah teoritis atau prinsip-prinsip dasar tentang teori mengenai unsur-unsur instrinsik yang signifikan dalam cerita rekaan. Aspek emosional ialah mampu atau tidak mampu menghayati nilai-nilai estetis unsur insrinsik yang signifikan dalam cerita rekaan. Aspek evaluatif ialah mampu atau tidaknya memberikan penilaian, baik secara verbal dalam angka atau penghargaan terhadap nilai-nilai estetis unsur-unsur instrinsik yang signifikan dalam cerita rekaan.”
Jadi, yang dimaksudkan apresiasi dalam penelitian ini ialah kemampuan siswa-siswi kelas II Jurusan Akuntansi SMK-2 Harapan Mekar Medan tahun ajaran 2011/2012 dalam memahami, menghayati dan menilai ataupun menghargai sebuah karya sastra berbentuk fiksi khususnya cerita pendek.
c.         Kemampuan Apresiasi
            Pengertian tentang kemampuan untuk mengapresiasikan fiksi ini, penulis beracuan pada pendapat Chamdiah yang mengatakan:
(3)
            “ Kemampuan apresiasi merupakan kesanggupan untuk menanggapi karya-karya sastra, prosa, drama, baik secara subyektif maupun secara obyektif. Kemampuan subyektif umumnya merupakan bawaan secara pribadi, sadangkan kesanggupan obyektif didapat karena belajar secara teoritis. Antara kesanggupan subyektif dan obyektif saling mempengaruhi dan saling meningkatkan.”
            Jadi, kemampuan apresiasi yang dimaksudkan di dalam penelitian ini adalah kesanggupan siswa untuk menanggapi karya sastra fiksi ini yang berbentuk cerita pendek. Apakah siswa dapat atau tidak memahami masalah-masalah teoritis atau prinsip-prinsip dasar mengenai unsur-unsur intrinsik yang terdapat pada fiksi yang berbentuk cerita pendek.
d.        Fiksi
Menurut Panuti Sudjiman:
(4)
            “ Fiksi (fiction): (1) Khayalan: sesuatu yang direka, istilah lain rekaan. (2) Jenis karya sastra yang berisi kisahan yang direka, pada umumnya beragam prosa. Istilah lain yaitu cerita rekaan.”
            Dari kutipan diatas dapat diketahui bahwa, fiksi ialah salah satu jenis karya sastra yang berisi kisah rekaan, atau istilah lainnya cerita rekaan.
            Sebelum sampai pada pengertian tentang fiksi, ada baiknya lebih dahulu dijelaskan pengertian fiksi secara etimologis. Dalam “Webster’s New Collegiate Dictionary” yang dikutip oleh H.G. Tarigan dikatakan:
(5)
“ Kata fiksi atau fiction diturunkan dari bahasa Latin Fictio, Fictum yang berarti membentuk, membuat, mengadakan, menciptakan.”
Jadi, pengertian fiksi secara etimologis dapat diartikan sesuatu yang dibentuk, sesuatu yang dibuat, sesuatu yang diciptakan, sesuatu yang diimajinasikan.

e.         Cerita Pendek
Dalam sebuah cerita pendek aspek lain yang diceritakan sangat dibatasi. Dengan pembatasan ini, maka masalah yang diceritakan akan tergambar dengan jelas dan lebih mengesankan pembaca. Seperti yang dikemukakan oleh Henry Scidel Camby yang dikutip oleh H.G. Tarigan:
(6)
“ Kesan yang satu hidup, itulah sebenarnya hasil dari cerita pendek.”
Ajip Rosidi yang juga dikutip oleh H.G. Tarigan memberi batasan dan keterangan sebagai berikut:
(7)
“ Cerpen atau cerita pendek adalah cerita yang pendek dan merupakan suatu kebulatan ide. Dalam kesingkatan dan kepada kepadatannya itu sebuah cerpen adalah lengkap, bulat dan singkat. Semua bagian dari sebuah cerpen mesti terikat pada kesatuan jiwa, pendek, padat, dan lengkap. Tak ada bagian-bagian yang boleh dikatakan “lebih” dan bisa dibuang.”
Selain itu, Ajip Rosidi juga mengemukakan pendapatnya yang dikutip oleh Parsaoran Sihombing sebagai berikut:
(8)
“ Cerita pendek adalah cerita yang pendek. Dalam cerita pendek yang singkat itu diambil sarinya sama, orang tidak bisa disuruh bercerita sesuka hatinya dan kejadian-kejadian yang perlu diberi perhatian, perlu dibatasi supaya cerita jangan terlalu panjang. Boleh dikatakan bahwa cerita harus lebih padat dari pada cerita roman. Segala yang diceritakan hendaknya sungguh perlu, untuk mengerti perjalanan jiwa dan kejadian-kejadian yang berlaku.”
            Demikianlah beberapa pendapat tentang batasan cerpen. Dari uraian-uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa cerita pendek adalah suatu karya sastra berbentuk prosa, yang relatif pendek dan singkat yang dibangun dengan membatasi pada salah satu aspek saja yang dikembangkan, namun didukung oleh unsur-unsurnya.
            Mengenai panjangnya, tidak ada suatu batasan yang pasti tentang cerita pendek ini. Jakob Sumardjo dan Saini K.M. memberikan pendapatnya sebagai berikut:
(9)
“ Cerita pendek adalah cerita berbentuk prosa yang relatif pendek. Kata pendek dalam batasan ini tidak jelas ukurannya. Ukuran pendek di sini diartikan sebagai; dapat dibaca sekali duduk dalam waktu kurang dari satu jam. Dikatakan pendek juga karena genre ini mempunyai efek tunggal, karakter, plot dan setting yang terbatas, tidak beragam dan tidak kompleks.”
            Dan Nugroho Notosusanto juga memberikan pendapatnya tentang panjang cerita pendek yang dikutip oleh H.G. Tarigan:



(10)
“ Cerita pendek adalah cerita yang panjangnya sekitar 5000 kata atau kira-kira 17 halaman kuarto spasi rangkap yang terpusat dan lengkap pada dirinya sendiri.”
Demikianlah beberapa pendapat tentang panjangnya cerita pendek ini. Akan tetapi soal panjang dan pendeknya ukuran fisik cerita pendek ini tidak menjadi ukuran mutlak, tidak ditentukan bahwa cerita pendek harus sekian halaman atau sekian kata, walaupun ia mempunyai kecenderungan untuk berukuran pendek dan padat. Karena kesingkatan ini, jelas tidak memberikan kesempatan bagi cerpen untuk menjelaskan dan mencantumkan segalanya.
f.         Unsur-Unsur Cerita Pendek
            Keutuhan dan kelengkapan sebuah cerita pendek dapat dilihat dari segi unsur-unsur yang membangunnya. Dalam tulisan ini penulis hanya akan membicarakan unsur instrinsik yang membangun sebuah cerita pendek, hal ini sesuai dengan fokus dan pembatasan masalah yang telah penulis tetapkan.
            Suatu cerita pendek yang lengkap harus mempunyai unsur-unsur di bawah ini:
1)        Peristiwa cerita (alur atau plot)
2)        Tokoh cerita (karakter)
3)        Tema cerita
4)        Suasana cerita (atmosfir cerita)
5)        Latar cerita (setting)
6)        Sudut pandang cerita (point of view)
7)        Gaya (style) pengarang
            Selanjutnya satu persatu mengenai unsur-unsur yang membangun cerita pendek akan penulis bicarakan satu-persatu.
1)        Peristiwa Cerita (Alur atau Plot)
            Pada prinsipnya seperti bentuk-bentuk fiksi lainnya maka cerita pendek juga menceritakan sesuatu cerita atau kejadian.
            Peristiwa atau kejadian itu disusun sedemikian rupa sehingga terciptalah suatu peristiwa yang logis. Dengan daya khayal dan imajinasinya, pengarang mencoba menciptakan kondisi yang disusunnya berdasarkan urutan peristiwa. Suatu kejadian dalam cerita menjadi sebab atau akibat kejadian lain. Rangkaian peristiwa atau kejadian yang disusun sedemikian rupa tersebut itulah yang dinamakan alur atau plot (peristiwa cerita).
            Untuk lebih jelasnya mengenai pengertian tentang alur atau plot ini akan dibicarakan berdasarkan pandangan dari beberapa ahli.
            Pendapat Parmadi yang dikutip oleh Parsaoran Sihombing menyatakan:
(11)
“ Alur ialah sambung-sinambungnya peristiwa berdasarkan hukum sebab akibat. Alur tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, tetapi ialah menjelaskan mengapa hal itu terjadi. Dengan sambung-sinambungnya peristiwa itu, terjadilah sebuah cerita.”
Rene Welek memberikan pendapat:
(12)
“ Plot adalah struktur penceritaa.”
Sementara itu pendapat Hudson yang dikutip Putu Arya Tirtawirya menyatakan bahwa:
(12)
“ Plot adalah rangkaian kejadian dan perbuatan.”
            Dari beberapa pendapat di atas mengenai pengertian peristiwa cerita (alur atau plot) ini, dapatlah disimpulkan bahwa peristiwa cerita (alur atau plot) adalah jalinan peristiwa-peristiwa yang membentuk kesatuan cerita yang disusun secara logis.
            Pada dasarnya suatu cerita dimulai dengan perkenalan sebagai permulaannya. Baik itu perkenalan terhadap tokoh maupun suasana cerita. Kemudian terjadilah pertikaian di antara tokoh-tokoh tersebut. Pertikaian itu mulai bergerak dan kemudian mencapai puncak atau klimaks dan diakhiri dengan penyelesaian dari peristiwa-peristiwa tersebut.
2)        Tokoh Cerita (Karakter)
            Tokoh cerita biasanya mengemban suatu perwatakan yang diberi bentuk dan isi oleh pengarang. Perwatakan (karakterisasi) dapat diperoleh dengan memberi gambaran mengenai tindak-tanduk, ucapan, atau sejalan tidaknya antara apa yang diucapkan dengan apa yang dilakukan. Prilaku para tokoh dapat diukur melalui tindak-tanduk, ucapan, kebiasaan dan sebagainya.
            Setiap pengarang ingin agar pembaca memahami tokoh atau perwatakan tokoh-tokoh yang ditampilkannya. Ada tiga macam cara pengarang untuk memperkenalkan tokoh dan perwatakan tokoh dan perwatakan tokoh dalam fiksi:
1.        Dengan cara analitik, yaitu secara langsung menyebutkan dengan terperinci bagaimana perangai atau watak para tokoh. Pengarang langsung memaparkan tentang watak atau karakter para tokoh.
2.        Dengan cara dramatik, yaitu pengarang secara tidak langsung menggambarkan watak-watak para pelakunya. Hal ini dapat ditempuh dengan berbagai cara, antara lain:
a.       Melukiskan jalan fikiran pelaku atau apa yang terlintas dalam fikirannya. Dengan cara ini pengarang mengajak pembaca untuk membaca fikiran pelaku, sehingga pembaca sendiri yang menyimpulkan watak pelaku melalui jalan fikiran yang dibacanya itu.
b.      Bagaimana reaksi pelaku itu terhadap suatu kejadian, melalui yang diperbuatnya, tindakan-tindakannya. Reaksi pelaku terhadap kejadian yang diciptakannya itu merupakan gambaran watak tertentu yang diinginkan.
c.       Melalui gambaran fisik tokoh. Melukiskan tampang atau bentuk lahir para tokoh. Pengarang sering melakukan deskripsi mengenai bentuk tubuh dan wajah tokoh-tokohnya, yaitu cara berpakaian, bentuk tubuhnya dan sebagainya.
d.      Melukiskan keadaan sekitar tokoh ataupun keadaan lingkungan sekitar tokoh.
e.       Bagaimana pandangan tokoh lain terhadap tokoh utama. Melalui dialog tokoh yang satu dengan tokoh yang lain, kita bisa mengetahui watak pelaku utama tersebut.
3.        Dengan cara analitik dan dramatik. Dalam hal ini, pengarang menggambarkan tokoh-tokoh itu dengan berbagai cara seperti yang telah disebutkan tadi. Baik secara langsung maupun tidak langsung.
3)        Tema Cerita
                        H.G. Tarigan memberikan pendapatnya mengenai tema sebagai berikut:
(13)
            “ Setiap fiksi haruslah mempunyai dasar atau tema yang merupakan sasaran tujuan. Penulis melukiskan watak para tokoh dalam karyanya dengan dasar tersebut. Dengan demikian tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa tema ini merupakan hal yang paling penting dalam suatu cerita. Suatu cerita tidak mempunyai tema tentu tidak ada gunanya dan artinya.”
            Jadi, tema adalah suatu hal yang paling penting di dalam sebuah cerita. Sebuah cerita yang dilahirkan tanpa tema tentu saja tidak ada artinya. Walaupun pengarang tidak menjelaskan temanya secara eksplisit, hal itu dapat disimpulkan oleh pembaca selesai membaca ceritanya.
            Tema adalah ide suatu cerita. Pengarang didalam melukiskan ceritanya bukan hanya sekedar mau bercerita, tetapi juga hendak mengatakan sesuatu pada pembaca.
            Sesuatu yang hendak diceritakan itu bisa masalah kehidupan, pandangan hidupnya tentang kehidupan, atau komentar terhadap kehidupan ini. Kejadian serta perbuatan tokoh cerita, semuanya didasari oleh ide pengarang.
4)        Suasana Cerita (Atmosfir Cerita)
Setiap cerita pendek ditulis dengan maksud tertentu. Suasana dalam cerita itu membantu menegaskan maksud pengarang. Di samping itu suasana cerita juga merupakan daya pesona pada cerita tersebut.
Cerita yang menarik hati harus hidup. Pembaca harus dapat merasa bersama pelakon sagala kejadian yang dialaminya. Suatu keadaan yang dilukiskan harus membayang dimukanya. Jika tidak demikian, maka cerita akan terasa menjemukan.
Cerita yang kita baca adalah kejadian atau pembicaraan tokoh-tokohnya, tetapi selama kita membacanya dan mengikuti cerita tersebut, terasa ada suasana yang mempengaruhi kita. Tentu saja bahwa suasana cerita baru terbina kalau unsur-unsur cerita yang lain berjalan dengan baik. Seperti yang dikatakan oleh Atar Semi:
(14)
“ Suasana tidak akan berbentuk bila pengarang sendiri tidak mengarah ke mana suasana akan di bawa.”
Jadi, suasana juga tergantung pada cara pengarang mengarahkan cerita tersebut.

5)   Latar Cerita (Setting)
Latar atau landas tumpu (setting) cerita adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi. Untuk dapat melukiskan latar dengan tepat, seorang pengarang haruslah mempunyai pengetahuan yang cukup tentang keadaan tempat dan waktu yang akan dijadikan latar peristiwa yang diceritakan.
M.S. Hutagalung memberikan pendapatnya tentang setting ini seperti yang dikutip Parsaoran Sihombing yaitu:
(15)
“ Setting atau latar ialah gambaran tempat atau segala situasi di tempat terjadinya peristiwa.”
Dalam cerita pendek, setting haruslah digarap pengarang menjadi unsur cerita yang penting. Ia terjalin erat dengan karakter, tema, suasana cerita. Setting dalam certita pendek ini terjalin dengan unsur-unsur lainnya. Dalam cerita pendek yang baik, setting harus benar-benarr mutlak untuk menggarap tema dan karakter cerita. Dari setting wilayah tertentu akan menghasilkan perwatakan tertentu dan tema tertentu pula.
6)        Sudut Pandang Cerita (Point Of View)
Sudut pandang pencerita/pengarang (point of view) adalah posisi dan penempatan diri pengarang dalam ceritanya, atau dari mana ia melihat peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam cerita itu. Point of view pada dasarnya adalah visi pengarang artinya sudut pandangan pengarang untuk melihat peristiwa yang diceritakannya itu.
Ada empat macam point of view, seperti yang dibicarakan dibawah ini:
1.        Pengarang sebagai tokoh cerita.
            Pengarang sebagai tokoh cerita, bercerita tentang keseluruhan kejadian atau peristiwa terutama yang menyangkut diri tokoh. Tokoh utama sebagai pemapar cerita pada umumnya mempunyai kesempatan yang luas untuk turut menguraikan dan menjelaskan tentang dirinya, tentang perasaan serta fikirannya, tetapi tidak banyak diketahui atau dapat diceritakannya tentang peistiwa yang berlangsung di tempat lain pada saat pelaku itu sendiri tidak berada disana.
2.        Pengarang sebagai tokoh sampingan.
            Orang bercerita dalam hal ini adalah tokoh sampingan yang menceritakan peristiwa yang bertalian, terutama dengan tokoh utama cerita. Sesekali peristiwa itu juga menyangkut tentang dirinya sebagai pencerita.
3.        Pengarang sebagai orang ketiga.
Pengarang sebagai orang ketiga berada di luar cerita bertindak sebagai pengamat sekaligus sebagai narator, ia menjelaskan peristiwa yang sedang berlangsung serta suasana perasaan dan fikiran para pelaku cerita.
4.        Pengarang sebagai pemain dan narator.
Pengarang bertindak sebagai pelaku utama cerita, dan sekaligus sebagai narator yang menceritakan mengenai orang lain di samping tentang dirinya, biasanya keluar masuk cerita, tetapi ketika yang lain ia bertindak sebagai pengamat yang berada di luar cerita.
7)        Gaya (Style) Pengarang
Dalam dunia karang mengarang, ada dua pengertian mengenai gaya atau style. Pengertian yang pertama di dalam stilistika yaitu gaya bahasa dalam berbagai bentuk pengungkapan yang mempergunakan bahasa. Pengertian yang kedua, gaya atau style adalah gaya bercerita seorang pengarang yang lazim disebut gaya pengarang. Gaya pengarang merupakan ciri khas seorang pengarang.
Dalam setiap kali bertutur, si penutur selalu berusaha mempengaruhi pembaca. Berbagai usaha dan tindakan dilakukannya agar pembaca tertarik dan terpengaruhi oleh gagasan yang di sampaikannya.

2.        Kerangka Konseptual
            Untuk menghindari tanggapan yang berbeda-beda tentang penelitian ini, maka penulis memberikan keterangan dari judul penelitian ini secara konsep. Maksudnya menerangkan beberapa istilah yang erat kaitannya dengan judul.
            Korelasi atau hubungan dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai hubungan timbal balik antara variabel yang satu dengan yang lainnya. Variabel yang satu (penguasaan teori apresiasi fiksi) dan yang kedua (kemampuan apresiasi cerita pendek).
            Pada variabel yang pertama dicari penguasaan teori-teori yang berhubungan dengan teori sastra. Teori sastra dalam hal ini seperti yang dimaksudkan adalah kerangka teoritis. Semua teori terfokus kepada apresiasi fiksi. Setelah itu dengan adanya teori apresiasi itu akan dimanifestasikan dalam kemampuan apresiasi cerpen. Dengan kata lain, cerpenlah satu-satunya alat untuk mengukur teori tadi.
            Untuk menerapkan teori itu ke dalam penganalisaan cerpen adalah penghayatan suatu pengalaman secara intern, mendalam (menghargai, menghayati dan memahami) karya sastra untuk mendapatkan pesan, ide atau makna. Tentunya untuk mendapatkan hal itu digunakan teori apresiasi yang khusus ditujukan pada cerpen.
            Berdasarkan jenisnya, fiksi terbagi atas beberapa genre. Penelitian ini difokuskan pada salah satu genre, yaitu cerita pendek (cerpen). Cerpen adalah salah satu karya sastra yang berbentuk prosa yang relatif pendek dan singkat yang dibangun dengan membatasi pada salah satu aspek saja yang dikembangkan namun didukung oleh unsur-unsur yang lainnya pula.
            Apresiasi cerita pendek ini terpusat pada unsur instrinsiknya saja (unsur yang membangun cipta sastra dari dalam).

3.        Hipotesis
            Berdasarkan permasalahan dan teori yang telah dikemukakan di atas, maka dalam penelitian ini hipotesis yang penulis munculkan adalah:
a.         Hipotesis Alternatif (Ha)
Adanya korelasi antara penguasaan teori apresiasi fiksi dengan kemampuan apresiasi cerpen siswa kelas II jurusan Akuntansi SMK-2 Harapan Mekar Medan tahun ajaran 2011/2012.
b.        Hipotesis Nol (Ho)
Tidak adanya kolerasi antara penguasaan teori apresiasi fiksi dengan kemampuan apresiasi cerpen siswa kelas II jurusan Akuntansi SMK-2 Harapan Mekar Medan tahun ajaran 2011/2012.





DAFTAR KUTIPAN

1.        Yusmaniar Noor, dkk. Kemampuan Mengapresiasi Cerita Rekaann Siswa Kelas III SMA di Sumatera Utara (Medan IKIP, 1984), hal. 6.
2.        Yusmaniar Noor, dkk. Loc.Cit
3.        Siti Chamdiah, dkk. Kemampuan Mengapresiasi Cerita Rekaan Siswa Kelas III SMA DKI. Jakarta (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud, 1981), hal. 7.
4.        Panuti Sudjiman,ed. Kamus Istilah Sastra (Jakarta: Gramedia, 1986), hal. 29.
5.        H.G. Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra (Bandung: Angkasa, 1986), hal. 20.
6.        H.G. Tarigan. Ibid.
7.        H.G. Tarigan. Ibid.
8.        H.G. Tarigan. Ibid.
9.        Jakob Sumarjo dan Saini K.M. Op.Cit. hal. 38.
10.    H.G. Tarigan, Op.Cit. hal. 176.
11.    Parsaoran Sihombing, dkk. Op.Cit. hal. 13.
12.    Rene Wellek dan Austin Warren. Teori Kesusastraan (Jakarta: Gramedia, 1989), hal. 79.
13.    H.G. Tarigan. Op.Cit. hal. 125.
14.    Atar Semi. Op.Cit. hal. 57-58.
15.    Parsaoran Sihombing, dkk. Op.Cit. 34.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

              Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan korelasi (mencari hubungan). Pendekatan ini adalah pendekatan yang sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Metode yang tepat sangat menentukan dan membantu penelitian dalam memecahkan masalah dan juga untuk mempermudah pembuktian hipotesa sesuai dengan yang diharapkan.
              Pada bagian ini akan diuraikan secara terperinci mengenai lokasi dan waktu penelitian, populasi dan sampel, alat pengumpul data dan teknik analisis data.

1.        Lokasi dan Waktu Penelitian
              Lokasi penelitian dilakukan di SMK-2 Harapan Mekar Medan tahun ajaran 2011/2012. Alasan memilih tempat ini untuk dijadikan sebagai lokasi penelitian sebagai berikut:
a.         Di sekolah tersebut belum pernah dilaksanakan penelitian dengan topik yang sama.
b.        Penulis telah mengetahui keadaan sekolah dan guru-guru Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah tersebut.
c.         Lokasi tersebut tidak terlalu jauh dari tempat tinggal penulis, sehingga dapat menghemat waktu, tenaga dan biaya.

2.        Populasi dan Sampel
              Sudjana dalam bukunya Metode Statistika memberikan pengertian populasi sebagai berikut:
(1)                
“ Totalitas semua yang memungkinkan hasil menghitung ataupun pengukuran, kuantitas maupun kualitas daripada karakteristik tertentu mengenai sekumpulan objek yang lengkap dan jelas yang inin dipelajari sifat-sifatnya dinamakan populasi.”
Selanjutnya Sudjana memberikan pengertian sampel sebagai berikut :
(2)
“ Adapun sebahagian dari populasi yang diambil disebut sampel. Sampel itu haruslah representatif dalam arti segala karakteristik populasi hendaknya tercermin pula dalam sampel yang diambil.”
              Dari uraian di atas maka yang menjadi populasi pada penelitian ini adalah siswa kelas II jurusan Akuntansi SMK-2 Harapan Mekar Medan. Pada hasil pengamatan terdahulu penulis memperoleh masukan bahwa siswa kelas II jurusan Akuntansi SMK-2 Harapan Mekar Medan terdiri dari dua kelas, sehingga penulis mengambil kesimpulan untuk mengambil semua populasi dijadikan sebagai sampel.
3.        Alat Pengumpul Data
              Data merupakan informasi yang sangat dibutuhkan seorang peneliti. Untuk memperoleh data yang dibutuhkan, seorang peneliti menggunakan alat pengumpul data yang sesuai dengan apa yang diinginkan dan dicari oleh peneliti.
              Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penguasaan teori apresiasi fiksi dengan kemampuan apresiasi cerpen. Untuk mencari data tersebut, maka pada penelitian ini alat pengumpul data adalah tes. Adapun penulis mengambil bentuk tes ini adalah sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Muhammad Ali:
(3)
“ Kelebihan dari tes objektif, dibandingkan dengan bentuk tes lainnya, diantaranya: (1) dapat diskor dengan mudah dan tepat, (2) dapat mentes bahan yang banyak dalam waktu yang singkat, (3) pertanyaan lebih mudah dituliskan, dan (4) dapat menghindari kemungkinan menjawab dengan tebakan, karena kemungkinan jawaban lebih banyak.” 
            Dalam penelitian ini tes apresiasi fiksi dilakukan dalam bentuk tes objektif tes demikian juga tes kemampuan apresiasi cerpen. Di sini penulis akan menguji sejauh mana penguasaan teori apresiasi fiksi dan juga kemampuan apresiasinya.

4.        Organisasi Pengolahan Data
            Setelah data penelitian ini terkumpul, maka data itu diolah melalui langkah-langkah sebagai berikut:
1)        Mentabulasi data tes teori apresiasi fiksi:
a.       Membuat tabulasi skor.
b.      Membuat susunan distribusi frekwensi skor tes.
c.       Mencari mean dan standart deviasi.
d.      Menentukan nilai akhir setiap siswa.

2)        Mentabulasi data tes penguasaan apresiasi cerpen:
a.       Membuat tabulasi skor.
b.      Membuat susunan distribusi frekwensi skor tes.
c.       Mencari mean dan standart deviasi.
d.      Mentukan nilai akhir setiap siswa.
3)        Menghitung koefesien kolerasi X dan Y.
4)        Pengujian Hipotesis.
a.       Uji normalitas.
b.      Uji linieritas.
c.       Uji r (kolerasi)
5)        Analisis tes.
5.        Teknik Analisis
            Pengolahan atau analisis data penelitian adalah dengan teknik statistik kuantitatif. Data tes dalam bentuk skor akan di ubah menjadi angka. Jadi yang dikolerasikan adalah hasil penguasaan teori apresiasi fiksi dengan kemampuan apresiasi cerpen.
            Untuk mengetahui koefesien kolerasi antara kedua variabel, penulis menggunakan rumus “ Produck Moment “dari Pearson yaitu:
(5)
=


DAFTAR KUTIPAN

1.        Sudjana, Metode Statistika (Bandung: Tarsito, 1984), hal. 30.
2.        Sudjana, Op. Cit. Hal. 5.
3.        Muhammad Ali, Penelitian Kependidikan Prosedur dan Strategi (Bandung: Angkasa, 1986), hal. 102.

















Lampiran 1

ORDE LAMA
SYADAN…. Di kala fajar dengan sinarnya mengambang di puncak bukit sebelah Timurr Danau. Bunyi Canang pun kedengaran bertalu-talu menembus telinga penduduk meski tinggalnya jauh dipinggang bukit Canang pemberitahuan dari Kepala Desa.
            “ Bukan canang gotong royong. Sebab kini hari Jum’at. Pikir Leman selagi menyiangi ladang cabai.
            Semenjak desa sekitar danau itu dibebaskan dari pasukan PRRi, hampir setiap hari penduduk dikerahkan bergotong royong. Kalau tidak memperbaiki jalan, tentu menebas pohon pisang di sekitar perkampungan, karena pohon pisang daapat dijadikan perlindungan oleh pasukan PRRI  jika menyerang desa. Kalau tidak membersihkan halaman kantor Kecamatan, tentulah membuat pagar bambu di sepanjang jalan desa agar pasukan PRRI tidak leluasa menerobos ke dalam  desa itu. Hanya pada setiap hari Jum’at gotong royong diadakan. Karena waktu itu pada hari itu demikian pendek menjelang sembahyang Jum’at.
            Oleh karena itu, Leman merasa lega juga. Meski ada canang ditabuh, pastilah tidak akan mengganggu rencananya hari itu. Karena ia bermaksud pergi ke Kecamatan untuk minta menikahkan Ramalah, anak  gadisnya yang sulung. Tanpa surat izin Kantor Agama Kecamatan, tidak seorang kadhi pun dapat menikahkan Ramalah. Sedang pernikahan itu harus segera dilaksanakan. Kalau tidak akan sangat terlambat jadinya. Laki-laki yang bakal menjadi suami Ramalah akan mempunyai kesempatan untuk berhela lagi. Itu tidak boleh terjadi. Kalau sampai itu terjadi, wah…wah…wah Leman tak maapu memikarkannya panjang-panjang.
            Ramalah telah hamil tiga bula. Sedang laki-laki itu menolak menikahi. Dalihnya, Ramalah tidak perawan sebelum dengan dia. Tapi Ramalah berkeras bahwa laki-laki itulah satu-satunya yang menidurinya. Namun setelah dibujuk dan dijanjikan akan dibelikan sebuah sepeda asal mau menikahi Ramalah., berubah laki-laki itu bersedia menikahi Ramalah. Sungguhpun begitu, masih ada syarat laki-laki itu lagi. Ia hanya mau menikahi saja, tapi ia takkan pulang untuk serumah.
            “ Baikalah. Pokoknya Ramalah pernah menikah, meski kemudian ia akan menjanda seumur hidupnya. Soalnya anak yang dalam kandungan Ramalah telah punya ayah yang sah”. Leman menegas dalam hatinya ketika laki-laki itu mengajukan syarat tambahan. Keputusan itu baru diperoleh tadi malam. Dan kalu hari itu pernikahan tidak sampai berlangsung, mungkin laki-laki itu mungkir.
Kecamatan. Di Lepau simpang desa ia diteriaki orang agar Leman jangan ke Kecamatan hari itu, karena ada razia. Sebab ia telah punya surat keterangan yang cukup.
            Jalan raya demikian sepi. Ttidak seperti hari biasanya hari Jum’at yang jadi hari pasar di desa Kapur. Tapi tidak menjadi pikiran Leman. Pikirannya terpusat pada masalah pernikahan Ramalah. Kata ulama yang menjadi ikutan Leman, yang berkewajiban yang menikahkan anak perempuannya ialah Bapaknya. Kadhi cuma sebagai saksi saja. Kalau sesederhana itu cara pernikahan menurut agamanya, sebetulnya ia tidak perlu ke kanto Agamauntuk memperoleh izin. Seandainya Pemerintah memerlukan pencatatan, itu bisa dilakukan kemudian saja. Tapi pernikahan demikian tidak menurut aturan. Maka tiba-tiba saja Leman merasakan, bahwa aturan bisa juga menyulitkan orang.
            Sulit atau tidak, ia mesti ke kantor Agama hari itu juga. Dan oleh tekadnya itu, sebuah rencana besar yang akan menjadi kebanggaan nasional hampir saja berantakan.
            KARENA… presiden telah memerintahkan, pada hari Proklamasi yang akan datang ini. Negara Republik Indonesia harus dinyatakan sebagain negara yang bebas buta huruf. Karena itu, perlu diadakan razia guna mengetahui apakah Indonesia telah betul-betul bebas dari buta huruf. Setelah semakin lama dilakukan kampanye pemberantasannya. Untuk propisi kami, Gubernur telah memerintah agar razia dilakukan di desa Kapur, desa asal-usulnya. Sebagai suatu simbolik. Karena sebagai putra utama negara, Gubernur harus memperlibatkan pada Presiden bahwa desa-desa asal-usulnya telah melaksanakan perintah Presiden dengan baiknya. Dan Gubernur sendiri akan datang bersama panitia untuk mengawasi razia itu.
            “ Jangan bikin malu aku” kata Gubernur pada Bupati beberapa hari yang lalu. Dan Bupati meneruskan pesan itu kepada Camat. “ Jangan sampai aku dimarahi Gubernur”.
            “ Dan Camat memerintahkan kepada Kepala Desa di sekitar danau itu. “ Kalau masih ada kedatangan yang buta huruf, kepala desanya akan kumasukkan dalam tahanan”.
            Dan kepala desa memerintahkan pada orang ronda. “ Bunyikan canang. Suruh semua orang buta huruf masuk hutan”.
            Dan Leman hanya mendengar bunyi canang. Tidak mendengar suara ronda yang berseru. Maka tiba-tiba saja Leman dicegat di ambang desa Kapur oleh petugas yang melakukan razia. Ia dibawa ke hadapan papan tulis yang disandarkan pada sandaran kursi di tepi jalan raya. Semua mata yang berkerumun memandang padanya.
            “ Baca”. Perintah seorang petugas sambil menunjuk dengan sebatang rotan pada huruf putih di papan tulis.
            “ Ya Allah, bencana apa yang akan menimpa Ramalah, anakku?” teriaknya dalam hati sambil melirik-lirik kiri-kanan mencari celah lowong tempat itu.
            Setelah berulang-ulang petugas itu memerintah sampai membentak, tidak ada celah lowong bagi tempat lari Leman. Hanya sekujur tubuhnya basah oleh keringat karena kepayahan jalan kaki dari rumahnya dan karena menahan rasa kecut.
            Lidahnya menjadi kelu. Bukan karena kecut oleh bentakan itu, melainkan karena memangnya ia tidak bisa membaca huruf yang ditunjuk oleh petugas itu. Selintas ia ingat Tuhan dan ia ingin berdoa semoga ia diberi mukjizat. Tapi ia tidak tahu doa apa yang harus dibacanya ketika itu.
            Kulit wajah Gubernur kehitam-hitaman menjadi kelabu karena naik pitam. Ketika Leman digiring orang ke tempat para pejabat yang mengawasi razia itu. Dengan bengis ia menegur Bupati. Dan Bupati kena tegur, membalaskannya kepada Camat. Dan Camat membalaskannya dengan membentak Kepala Desa. Tapi Kepala Desa mempunyai kesempatan berfikir seperti kapal terbang pemburu yang sering lewat di desanya ketika mencari kubu PRRI. Ia maklum Gubernur akan merasa malu besar, karena masih kedapatan orang yang buta huruf dikampung halamannya. Segera ia menjawab bentakan Camat.
            “ Tapi, Pak Gubernur, orang ini bukan orang kampung kita”.
            Tiba-tiba saja wajah Gubernur menjadi cerah, lalu ia berkata pada ketua Tim Razia yang sengaja diutus dari Jakarta. “ Benarkan kata ku? Tidak ada orang kampung halamanku yang masih buta huruf”.
            “ jadi dia dari mana?” tanya ketua Tim Razia itu.
            “ Dari desa seberang bukit, Pak”. Kepala desa dengan cepat.
            “ Jangan memojokkan aku, ya?”  tiba-tiba Bupati yang bangkit berangnya oleh jawaban kepala desa itu. Sekali lagi Kepala Desa itu menunjukkan kecerdasannya. Memang ia baru datang dari desa seberang bukit, Pak. Tapi aslinya dari penduduk kiliran”.
            “ Itu keterangan yang betul. Karena minggu lalu aku telah mengadakan razia di sana. Tidak ada seorang pun penduduk yang masih buta huruf.” Kata Bupati pula dengan memaksakan kebanggaannya kepada ketua Tim Razia dari Jakarta itu.
            “ Kami percaya.” Ulas orang dari Jakarta itu dengan tenang-tenang saja. Masalahnya, bagaimana bunyi laporan ke Departemen kelak?”.
            Pertanyaan yang tidak mudah untuk dicarikan jawabannya. Meski Leman bukan penduduk Desa Kapur, bukan pula penduduk desa seberang bukit, tapi toh dia penduduk dari propinsi di bawahi Gubernur?. Semua orang yang hadir di situ berbisik-bisik ke telinga Leman. Lalu ia berbisik ketelingan Leman. Bisikannya, “ Jahanam kau”.
            Rundung punya runding, maka musyawarah antara pejabat yang berkumpul kembali membuktikan keampuhannya. Sehingga ketua Tim Razia dari Jakarta itu berkata pada wartawan yang juga hadir. “ PBB harus belajar dari Indonesia, bagaimana memberantas buta huruf”.
            Dan Gubernur menyambung, “ Rencana Presiden telah kita laksanakan dengan sempurna”.
            Musyawarah yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang mengikuti jalan razia itu telah memutuskan bahwa buta huruf yang masih ada pada Leman harus diberantas. Tugas itu berikan kepada Camat dan di awasi oleh Bupati. Dan Camat menyanggupi, bahwa dalam waktu tiga bulan Leman tidak buta huruf lagi. Sehingga pada hari proklamasi depan ini, Presiden sudah bisa mengumumkan ke seluruh dunia bahwa Indonesia telah bebas dari buta huruf., lalu rombongan dari kota itu meninggalkan Desa Kapur dengan membawa wajah yang berseri-seri.
            Tapi Leman tinggal dengan loyo oleh bentakan dan makian pegawai camat. Dan jatuh pingsan ketika camat memberikan hukuman mengangkut 40 karung semen dalam waktu seminggu ke pintu air yang tengah dibangun di kaki Bukit Sarahan. Leman jatuh pingsan karena tahu letak dua pintu air itu dua jam perjalanan melalui pematang sawah dan tidak ada kendaraan bisa ke sana. Dan dia tidak bisa mengangkat sendiri. Ia harus mengubah orang lain. Kalau ia mengubah, itu artinya sepeda untuk calon suami Ramalah tak jadi dibeli.
            Dengan menangis Leman mengadukan nasibnya kepada Kepala Desa. Ia ceritakan segala kesulitan yang dihadapinya. Tapi Kepala Desa hanya bisa menasehati agar menemui camat. Dengan harapan yang hilang-hilang timbul ia menemui camat sebelum Leman habis memberitahukan kesulitannya.
            Mestinya Leman menemui Bupati untuk minta belas kasihan. Tapi pengalamnnya dengan camat telah memberi pelajaran baginya, yakni: tambah tinggi tempat mengadu tambah berat siksaan yang dideritannya kelak.
            Tak ada jalan lain baginya kini. Selain menyerahkan Ramalah pada suratan nasibnya sendiri.
            Dan ketika Presiden mengumumkan Proklamasi seperti yang direncanakan, berteriaklah seorang bayi yang baru saja keluar dari rahim ibunya. Kelahirannya terlalu cepat dua bulan. Tapi Leman merasa lebih tua sepuluh tahun lagi, ketika memikirkan pertanyaan si bayi kelak: “ Siapa ayah saya?”.

Oleh A.A. Navis dalam Laut Biru Langit Biru, 1977.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad. 1982. Penelitian Pendidikan Prosedur dan Strategi. Bandung: Tarsito.
Chamdiah, Siti. 1981. Kemampuan Mengapresiasi Cerita Rekaan Siswa Kelas III Sekolah Menengah Atas DKI Jakarta. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Keraf, Gorys. 1984. Komposisi. Flores: Nusa Indah.
Noor, Yusmaniar. 1984. Kemampuan Mengapresiasi Cerita Rekaan Siswa Kelas III Sekolah Menengah Atas di Sumatera Utara. Medan: IKIP.
Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: Diponegoro.
Sumarjo, Jakob. 1986. Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Sumarjo, Jakob dan Saini KM. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Surakhmad, Winarno. 1982. Dasar dan Teknik Research. Bandung: Tarsito.
Tarigan, H.G. 1986. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Wellek, Rene dan Austin Werren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Nursyam. 1991. Metodologi Penelitian. Solo: Assifa.
Navis, A.A. 1977. Orde Lama. Dalam Laut Biru Langit Biru.
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar