BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Dalam kehidupan manusia di dunia ini
selalu tidak lepas dari dari tuntutan-tuntutan. Tuntutan itu secara garis besar
dapat kita bagi menjadi dua golongan yaitu tuntutan jasmani dan tuntutan
rohani. Untuk memenuhi tuntutan itu manusia selalu sedaya mungkin berusaha
sehingga tercapai kehidupan yang sempurna.
Sastra mempunyai nilai penting dalam
mencapai kepuasan batin manusia. Sastra mempunyai nilai keindahan sehingga
mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Hal ini karena sastra dapat
memberikan kesenangan kepadanya. Sastra mempengaruhi cara berfikir manusia
terhadap hidup ini. Hal ini karena dalam sastra karena terdapat pengalaman
hidup manusia. Selain itu sastra memiliki nilai estetika yang dibutuhkan manusia
untuk memenuhi kebutuhan rohani, karena sastra adalah seni.
Karya sastra sebagai bagian dari
kegiatan budaya yang intlektual diciptakan pengarang untuk dibaca, dipahami,
dinikmati serta dimanfaatkan oleh masyarakat pembaca. Sebab tanpa pembaca, sastra
itu tidak mempunyai arti dalam keberadaannya. Jakob Sumarjo mengemukakan bahwa
karya sastra adalah:
(1)
“
Ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat
dan keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkrit yang membangkitkan pesona
dengan alat bahasa.”
Sehingga diharapkan melalui karya
sastra akan dapat menghasilkan insan-insan yang peka terhadap keindahan,
mempunyai fikiran yang kritis dan mampu membedakan yang baik dan yang buruk.
Sehubungan dengan hal yang di atas,
Jakob Sumarjo dan Saini KM mengatakan:
(2)
“
Bahwa dengan membaca karya sastra pembaca dapat mengetahi kebenaran-kebenaran
hidup, pembaca mendapatkan sesuatu kegembiraan dan kepuasan batin sehingga
kebutuhan terhadap naluri keindahan terpenuhi, serta menolong pembaca menjadi
manusia yang berbudaya.”
Dengan demikian semakin banyak kita rajin membaca karya sastra semakin
banyak pula kita memperoleh pengetahuan tentang pemahaman hidup dan kehidupan
ini, serta kaya pula akan kerohanian.
Bertitik tolak darin uraian diatas,
maka sastra tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, amatlah penting
artinya. Sekolah adalah sasaran utama memberikan pelajaran dan memperdalam
pengajaran sastra.
Namun perlu disadari bahwa untuk
mendapatkan hasil yang maksimaldalam menikmati atau mengapresiasi sebuah karya
sastra tidaklah semudah yang kita duga. Banyak faktor yang menghambat untuk
mengapresiasi sastra tersebut. Dengan adanya hambatan-hambatan ini, orang
selalu mengkesampingkan sehingga apa yang dituju untuk mengapresiasi dan menikmati
sastra tidaklah secara sempurna pula.
Cerpen sebagai salah satu karya
sastra diciptakan untuk menyampaikan nilai-nilai kebenaran, moral dan kehidupan
serta berbagai peristiwa yang melibatkan aspek kehidupan, seseorang berfikir
serta mempertimbangkan sesuatu sebelum ia memutuskan.
Untuk mendapatkan hal-hal tersebut
di atas, maka di sekolah-sekolah diajarkan suatu teori ataupun cara-cara yang
ditempuh untuk menggumuli karya sastra tersebut. Dengan adanya teori ini
diharapkan siswa akan mampu mengapresiasi sebuah karya sastra, sehingga apa
yang diinginkan dari sastra itu akan terwujud. Dalam hal ini penulis mengambil
pendapat Yus Rusyana, yakni:
(3)
“
Untuk kependidikan, tujuan pengajaran sastra, tentulah merupakan bagian dari
tujuan pendidikan keseluruhannya, karena proses belajar dan mengajarkan sastra
merupakan bagian dari proses pendidikan.”
Mengingat pentingnya nilai
penelitian bagi pembinaan dan pengembangan pengajaran sastra, maka sudah pada
tempatnya jika dilaksanakan penelitian mengenai kemampuan mengapresiasi sastra
oleh siswa.
Karya
sastra termasuk cerpen, berkembang sesuai dengan perkembangan zaman sehingga
dikatakan bahwa karya sastra adalah cermin masyarakat. Sehubungan dengan itu
penelitian ini akan difokuskan pada cerpen, berarti juga penggambaran
masyarakat Indonesia saat cerpen
diciptakan.
Berdasarkan
uraian-uraian di atas, penulis akan mencoba mengangkat permasalahan mengenai
teori apresiasi. Dengan demikian lengkapnya judul penelitian ini adalah:
“KORELASI ANTARA PENGUASAAN TEORI APRESIASI FIKSI DENGAN KEMAMPUAN
MENGAPRESIASI CERPEN SISWA KELAS II JURUSAN AKUNTANSIYA YAYASAN PERGURUAN
SWASTA SMK-2 HARAPAN MEKAR MEDAN TAHUN AJARAN 2011/2012.”
2.
Identifikasi
Masalah
Sebelum kita membicarakan ruang
lingkup masalah terlebih dahulu penulis ingin menulis pendapat Winarno
Surakhmad tentang apa yang dimaksud dengan masalah. Menurutnya masalah adalah
setiap kesulitan yang menggerakkan manusia untuk memecahkannya. Jadi masalah
adalah kendala yang dihadapi manusia dalam menjalani kehidupannya.
Untuk menilai suatu penelitian
terlebih dahulu kita harus mengetahui masalah apa yang kita teliti. Selanjutnya
kita akan mulai melangkah mencari tahap-tahap pemecahannya. Tahap pertama dalam
penelitian ini adalah tahap perumusan masalah. Muhammad Ali dalam bukunya
mengatakan:
(4)
“
Perumusan masalah pada hakekatnya adalah generalisasi deskripsi ruang lingkup
masalah, pembatasan dimensi dan analisa variabel yang tercakup di dalamnya.
Dalam hal ini perumusan masalah dapat dibuat dalam bentuk pertanyaan deskripsi
maupun pertanyaan sekitar masalah yang diteliti.”
Sehubungan dengan pendapat di atas
Winarno Surakhmad menambahkan:
(5)
“
Sebuah masalah yang dirumuskan terlalu umum dan luas tidak daapat dipakai
sebagai masalah penyelidikan. Oleh karena tidak akan pernah jelas batasan
masalah itu. Oleh sebab itu masalah perlu memenuhi syarat dalam perumusan yang
terbatas.”
Dapat ditarik kesimpulan bahwa
masalah penelitian ilmiah itu berupa pertanyaan deskripsi di sekitar masalah
yang dihadapi dan masalah itu tidak boleh terlalu umum, harus dipersempit ruang
lingkupnya.
Permasalahan yang akan dibahas dalam
penelitian ini adalah bersifat mencari korelasi penguasaan teori apresiasi
fiksi dan kemampuan apresiasi cerpen. Untuk melihat kedua variabel tersebut
dipergunakan tes yang diberikan kepada siswa untuk dikerjakan.
Selanjutnya melalui jawaban-jawaban
yang dikerjakan akan diketahui penguasaan siswa terhadap teori apresiasi fiksi
dan kemampuan siswa mengapresiasi cerpen.
3.
Batasan
Masalah
Masalah yang diteliti adalah masalah
yang pemecahannya dibutuhkan oleh banyak orang. Untuk membatasi masalah itu
Gorys Keraf dalam bukunya mengatakan:
(6)
“
Setiap penulis harus betul-betul yakin bahwa pokok yang dipilihnya cukup kecil
atau sifatnya sedemikian khusus untuk digarap. Kecenderungan setiap penulis
baru adalah adalah mengungkapkan sesuatu yang terlalu umum, akibatnya uraian
menjadi kabur dan pemakaian istilah yang tidak tepat.”
Mengingat
luasnya cakupan masalah yang berhubungan dengan kemampuan mengapresiasi cerpen
ini, maka penulis perlu membatasi masalah. Pembatasan masalah ini dilakukan
dengan berbagai pertimbangan demi tercapainya tujuan penelitian. Adapun pertimbangan
itu menyangkut keterbatasan waktu dan biaya yang tersedia.
Pada penelitian ini yang menjadi
pusat penelitian penulis adalah penguasaan teori apresiasi fiksi. Cerpen
merupakan salah satu fiksi. Maka dalam hal ini penulis memilih cerpen sebagai
objek yang diapresiasi.
Penelitian akan difokuskan pada
kemampuan para siswa dalam mengapresiasi fiksi yang berbentuk cerita pendek
(cerpen) ini. Kemampuan untuk mengapresiasi itu akan penulis batasi lagi pada
unsuur instrinsik yang membangun cerpen tersebut. Adapun unsur instrinsik yang
penulis maksudkan menyangkut peristiwa cerita (alur atau plot), tokoh cerita,
(karakter), tema cerita, latar cerita (setting), sudut pandang pengarang (point
of view), gaya (style), dan suasana penceritaan.
Penulis memilih sebuah cerita pendek
karya seorang pengarang yang bernama A.A. Navis dalam Laut Biru Langit Biru,
1977. Judul cerita pendek yang penulis pilih yaitu “Orde Lama”.
4.
Rumusan
Masalah
Rumusan masalah berfungsi sebagai
tumpuan pokok persoalan. Dalam perumusan masalah dibuat rumusan yang lebih
spesifik terhadap masalah yang akan diteliti. Hal ini sesuai pendapat Nursyam
(1991:85):
(7)
“
Langkah berikutnya bagi seorang peneliti apabila sudah menemukan masalah dengan
memperhatikan hal-hal yang pertama, masalah dirumuskan dalam bentuk kalimat
tanya. Kedua, hendaknya dalam kalimat yang padat dan jelas. Ketiga, rumusan itu
hendaknya memberi petunjuk tentang kemungkinan mengumpulkan data guna menjawab
pertanyaan yang terkandung di dalamnya.”
Berpatokan pada pendapat di atas,
maka masalah dirumuskan dalam bentuk pertanyaan. Maka dalam penelitian masalah
dirumuskan, yakni:
1. Sejauh
manakah tingkat penguasaan teori apresiasi fiksi siswa kelas II Jurusan
Akuntansi Yayasan Perguruan Swasta SMK-2 Harapan Mekar Medan tahun ajaran
2011/2012.
2. Sejauh
manakah kemampuan apresiasi cerpen siswa kelas II Jurusan Akuntansi Yayasan
Perguruan Swasta SMK-2 Harapan Mekar Medan tahun ajaran 2011/2012.
3. Adakah
korelasi tingkat penguasaan teori apresiasi fiksi dengan dengan kemampuan
apresiasi cerpen siswa kelas II Jurusan Akuntansi Yayasan Perguruan Swasta
SMK-2 Harapan Mekar Medan tahun ajaran 2011/2012.
5.
Tujuan
Penelitian
Pada dasarnya tujuan
merupakan sasaran atau titik tujuan yang akan dicapai seseorang begitu juga
dalam penelitian ini. Tujuan ini harus dinyatakan dalam bentuk perumusan,
karena perumusan tujuan sangat membantu dalam memecahkan masalah. Maka dalam
hal ini penelitian dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1.
Untuk memperoleh hasil tentang
penguasaan teori apresiasi fiksi oleh siswa kelas II Jurusan Akuntansi Yayasan
Perguruan Swasta SMK-2 Harapan Mekar Medan tahun ajaran 2011/2012.
2.
Untuk memperoleh tentang kemampuan apresiasi
cerpen oleh siswa kelas II Jurusan Akuntansi Yayasan Perguruan Swasta SMK-2
Harapan Mekar Medan tahun ajaran 2011/2012.
3.
Untuk mengetahui kolerasi penguasaan
teori apresiasi fiksi dengan kemampuan apresiasi cerpen oleh siswa kelas II
Jurusan Akuntansi Yayasan Perguruan Swasta SMK-2 Harapan Mekar Medan tahun
ajaran 2011/2012.
6.
Manfaat
Penelitian
Manfaat penelitian yang diharapkan adalah:
1.
Bagi siswa, dapat memberikan penambahan
wawasan apresiasi sastra, khususnya cerpen.
2.
Bagi guru, dapat dijadikan sebagai
masukan (informasi) untuk meningkatkan mutu pengajaran serta meningkatkan
prestasi anak didik.
3.
Memberikan sumbangan bagi dunia
pendidikan, khususnya bidang studi Bahasa dan Sastra Indonesia.
4.
Sebagai bahan studi bagi mahasiswa yang
melakukan penelitian yang relevan di kemudian hari.
7.
Anggapan
Dasar
Anggapan dasar
dalam penelitian ini adalah:
1. Teori
apresiasi fiksi telah di ajarkan dikelas II Jurusan Akuntansi Yayasan Perguruan
Swasta SMK-2 Harapan Mekar Medan.
2. Siswa
kelas II Jurusan Akuntansi Yayasan Perguruan Swasta SMK-2 Harapan Mekar Medan
memiliki penguasaan terhadap materi apresiasi fiksi.
3. Siswa
kelas II Jurusan Akuntansi Yayasa Perguruan Swasta SMK-2 Harapan Mekar Medan
memiliki kemampuan untuk mengapresiasi cerpen.
DAFTAR KUTIPAN
1.
Jakob Sumarjo, Apresiasi Sastra
Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1986), hal. 3.
2.
Jakob Sumarjo dan Saini KM, Apresiasi
Kesusastraan (Jakarta: Gramedia, 1988), hal. 8
3.
Yus Rusyana, Bahasa dan Sastra Dalam
Gamitan Pendidikan (Bandung: Diponegoro, 1984), hal. 313.
4.
Muhammad Ali, Penelitian Pendidikan
Prosedur dan Strategi (Bandung: Tarsito, 1982), hal. 2.
5.
Winarno Surakhmad, Dasar dan Teknik
Research (Bandung: Tarsito, 1982), hal, 36.
6.
Gorys Keraf, Komposisi (Flores: Nusa
Indah, 1984), hal. 112.
7.
Nursyam, Analisa Wacana Pragmatik (Solo:
Assifa, 1991), hal. 85.
BAB II
KERANGKA TEORITIS, KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS
1.
Kerangka
Teoritis
Kerangka teori merupakan rancangan
teori yang berhubungan dengan hakekat untuk menjelaskan pengertian-pengertian
variabel yang diteliti. Kerangka teoritis diupayakan untuk menjelaskan ciri
dari variabel tersebut. Beberapa perangkat teori yang relevan akan dimanfaatkan
sebagai pendukung pada masalah yang akan diteliti.
a.
Kemampuan
Pengertian kemampuan yang dimaksud
dalam penelitian ini merujuk kepada pengertian yang diberikan oleh Ichsan yang
dikutip oleh Yusmaniar Noor dan kawan-kawan dalam laporan hasil penelitian
mereka. Mereka mengatakan:
(1)
“ Yang dimaksud dengan kemampuan
adalah daya pemahaman, penghayatan, dan keterampilan yang diperlihatkan oleh
siswa SMA Sumatera Utara dalam mengapresiasi karya sastra, terutama cerita
rekaan.”
b.
Apresiasi
Istilah
apresiasi dalam penelitian ini diartikan sebagai sesuatu yang meliputi aspek
kognitif, aspek emosional dan aspek evaluatif. Hal ini sejalan pada pendapat
Ichsan sebagai berikut:
(2)
“
Aspek kognitif yang dimaksud ialah dapat tidaknya memahami masalah-masalah
teoritis atau prinsip-prinsip dasar tentang teori mengenai unsur-unsur
instrinsik yang signifikan dalam cerita rekaan. Aspek emosional ialah mampu
atau tidak mampu menghayati nilai-nilai estetis unsur insrinsik yang signifikan
dalam cerita rekaan. Aspek evaluatif ialah mampu atau tidaknya memberikan
penilaian, baik secara verbal dalam angka atau penghargaan terhadap nilai-nilai
estetis unsur-unsur instrinsik yang signifikan dalam cerita rekaan.”
Jadi,
yang dimaksudkan apresiasi dalam penelitian ini ialah kemampuan siswa-siswi
kelas II Jurusan Akuntansi SMK-2 Harapan Mekar Medan tahun ajaran 2011/2012
dalam memahami, menghayati dan menilai ataupun menghargai sebuah karya sastra
berbentuk fiksi khususnya cerita pendek.
c.
Kemampuan Apresiasi
Pengertian tentang kemampuan untuk
mengapresiasikan fiksi ini, penulis beracuan pada pendapat Chamdiah yang
mengatakan:
(3)
“ Kemampuan apresiasi merupakan
kesanggupan untuk menanggapi karya-karya sastra, prosa, drama, baik secara subyektif
maupun secara obyektif. Kemampuan subyektif umumnya merupakan bawaan secara
pribadi, sadangkan kesanggupan obyektif didapat karena belajar secara teoritis.
Antara kesanggupan subyektif dan obyektif saling mempengaruhi dan saling
meningkatkan.”
Jadi, kemampuan apresiasi yang
dimaksudkan di dalam penelitian ini adalah kesanggupan siswa untuk menanggapi
karya sastra fiksi ini yang berbentuk cerita pendek. Apakah siswa dapat atau
tidak memahami masalah-masalah teoritis atau prinsip-prinsip dasar mengenai
unsur-unsur intrinsik yang terdapat pada fiksi yang berbentuk cerita pendek.
d.
Fiksi
Menurut Panuti Sudjiman:
(4)
“ Fiksi (fiction): (1) Khayalan:
sesuatu yang direka, istilah lain rekaan. (2) Jenis karya sastra yang berisi
kisahan yang direka, pada umumnya beragam prosa. Istilah lain yaitu cerita
rekaan.”
Dari kutipan diatas dapat diketahui
bahwa, fiksi ialah salah satu jenis karya sastra yang berisi kisah rekaan, atau
istilah lainnya cerita rekaan.
Sebelum sampai pada pengertian
tentang fiksi, ada baiknya lebih dahulu dijelaskan pengertian fiksi secara
etimologis. Dalam “Webster’s New Collegiate Dictionary” yang dikutip oleh H.G.
Tarigan dikatakan:
(5)
“
Kata fiksi atau fiction diturunkan dari bahasa Latin Fictio, Fictum yang
berarti membentuk, membuat, mengadakan, menciptakan.”
Jadi,
pengertian fiksi secara etimologis dapat diartikan sesuatu yang dibentuk,
sesuatu yang dibuat, sesuatu yang diciptakan, sesuatu yang diimajinasikan.
e.
Cerita Pendek
Dalam
sebuah cerita pendek aspek lain yang diceritakan sangat dibatasi. Dengan
pembatasan ini, maka masalah yang diceritakan akan tergambar dengan jelas dan
lebih mengesankan pembaca. Seperti yang dikemukakan oleh Henry Scidel Camby
yang dikutip oleh H.G. Tarigan:
(6)
“
Kesan yang satu hidup, itulah sebenarnya hasil dari cerita pendek.”
Ajip
Rosidi yang juga dikutip oleh H.G. Tarigan memberi batasan dan keterangan
sebagai berikut:
(7)
“
Cerpen atau cerita pendek adalah cerita yang pendek dan merupakan suatu
kebulatan ide. Dalam kesingkatan dan kepada kepadatannya itu sebuah cerpen
adalah lengkap, bulat dan singkat. Semua bagian dari sebuah cerpen mesti
terikat pada kesatuan jiwa, pendek, padat, dan lengkap. Tak ada bagian-bagian
yang boleh dikatakan “lebih” dan bisa dibuang.”
Selain
itu, Ajip Rosidi juga mengemukakan pendapatnya yang dikutip oleh Parsaoran
Sihombing sebagai berikut:
(8)
“
Cerita pendek adalah cerita yang pendek. Dalam cerita pendek yang singkat itu
diambil sarinya sama, orang tidak bisa disuruh bercerita sesuka hatinya dan
kejadian-kejadian yang perlu diberi perhatian, perlu dibatasi supaya cerita
jangan terlalu panjang. Boleh dikatakan bahwa cerita harus lebih padat dari
pada cerita roman. Segala yang diceritakan hendaknya sungguh perlu, untuk
mengerti perjalanan jiwa dan kejadian-kejadian yang berlaku.”
Demikianlah beberapa pendapat
tentang batasan cerpen. Dari uraian-uraian di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa cerita pendek adalah suatu karya sastra berbentuk prosa, yang relatif
pendek dan singkat yang dibangun dengan membatasi pada salah satu aspek saja
yang dikembangkan, namun didukung oleh unsur-unsurnya.
Mengenai panjangnya, tidak ada suatu
batasan yang pasti tentang cerita pendek ini. Jakob Sumardjo dan Saini K.M.
memberikan pendapatnya sebagai berikut:
(9)
“
Cerita pendek adalah cerita berbentuk prosa yang relatif pendek. Kata pendek
dalam batasan ini tidak jelas ukurannya. Ukuran pendek di sini diartikan
sebagai; dapat dibaca sekali duduk dalam waktu kurang dari satu jam. Dikatakan
pendek juga karena genre ini mempunyai efek tunggal, karakter, plot dan setting
yang terbatas, tidak beragam dan tidak kompleks.”
Dan Nugroho Notosusanto juga
memberikan pendapatnya tentang panjang cerita pendek yang dikutip oleh H.G.
Tarigan:
(10)
“
Cerita pendek adalah cerita yang panjangnya sekitar 5000 kata atau kira-kira 17
halaman kuarto spasi rangkap yang terpusat dan lengkap pada dirinya sendiri.”
Demikianlah
beberapa pendapat tentang panjangnya cerita pendek ini. Akan tetapi soal
panjang dan pendeknya ukuran fisik cerita pendek ini tidak menjadi ukuran
mutlak, tidak ditentukan bahwa cerita pendek harus sekian halaman atau sekian
kata, walaupun ia mempunyai kecenderungan untuk berukuran pendek dan padat.
Karena kesingkatan ini, jelas tidak memberikan kesempatan bagi cerpen untuk
menjelaskan dan mencantumkan segalanya.
f.
Unsur-Unsur Cerita Pendek
Keutuhan dan kelengkapan sebuah
cerita pendek dapat dilihat dari segi unsur-unsur yang membangunnya. Dalam
tulisan ini penulis hanya akan membicarakan unsur instrinsik yang membangun sebuah
cerita pendek, hal ini sesuai dengan fokus dan pembatasan masalah yang telah
penulis tetapkan.
Suatu
cerita pendek yang lengkap harus mempunyai unsur-unsur di bawah ini:
1)
Peristiwa cerita (alur atau plot)
2)
Tokoh cerita (karakter)
3)
Tema cerita
4)
Suasana cerita (atmosfir cerita)
5)
Latar cerita (setting)
6)
Sudut pandang cerita (point of view)
7)
Gaya (style) pengarang
Selanjutnya satu persatu mengenai
unsur-unsur yang membangun cerita pendek akan penulis bicarakan satu-persatu.
1)
Peristiwa Cerita (Alur atau Plot)
Pada prinsipnya seperti
bentuk-bentuk fiksi lainnya maka cerita pendek juga menceritakan sesuatu cerita
atau kejadian.
Peristiwa atau kejadian itu disusun
sedemikian rupa sehingga terciptalah suatu peristiwa yang logis. Dengan daya
khayal dan imajinasinya, pengarang mencoba menciptakan kondisi yang disusunnya
berdasarkan urutan peristiwa. Suatu kejadian dalam cerita menjadi sebab atau
akibat kejadian lain. Rangkaian peristiwa atau kejadian yang disusun sedemikian
rupa tersebut itulah yang dinamakan alur atau plot (peristiwa cerita).
Untuk lebih jelasnya mengenai
pengertian tentang alur atau plot ini akan dibicarakan berdasarkan pandangan
dari beberapa ahli.
Pendapat Parmadi yang dikutip oleh
Parsaoran Sihombing menyatakan:
(11)
“
Alur ialah sambung-sinambungnya peristiwa berdasarkan hukum sebab akibat. Alur
tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, tetapi ialah menjelaskan mengapa hal
itu terjadi. Dengan sambung-sinambungnya peristiwa itu, terjadilah sebuah
cerita.”
Rene
Welek memberikan pendapat:
(12)
“
Plot adalah struktur penceritaa.”
Sementara
itu pendapat Hudson yang dikutip Putu Arya Tirtawirya menyatakan bahwa:
(12)
“
Plot adalah rangkaian kejadian dan perbuatan.”
Dari beberapa pendapat di atas
mengenai pengertian peristiwa cerita (alur atau plot) ini, dapatlah disimpulkan
bahwa peristiwa cerita (alur atau plot) adalah jalinan peristiwa-peristiwa yang
membentuk kesatuan cerita yang disusun secara logis.
Pada
dasarnya suatu cerita dimulai dengan perkenalan sebagai permulaannya. Baik itu
perkenalan terhadap tokoh maupun suasana cerita. Kemudian terjadilah pertikaian
di antara tokoh-tokoh tersebut. Pertikaian itu mulai bergerak dan kemudian
mencapai puncak atau klimaks dan diakhiri dengan penyelesaian dari
peristiwa-peristiwa tersebut.
2)
Tokoh Cerita (Karakter)
Tokoh cerita biasanya mengemban
suatu perwatakan yang diberi bentuk dan isi oleh pengarang. Perwatakan
(karakterisasi) dapat diperoleh dengan memberi gambaran mengenai tindak-tanduk,
ucapan, atau sejalan tidaknya antara apa yang diucapkan dengan apa yang
dilakukan. Prilaku para tokoh dapat diukur melalui tindak-tanduk, ucapan,
kebiasaan dan sebagainya.
Setiap pengarang ingin agar pembaca
memahami tokoh atau perwatakan tokoh-tokoh yang ditampilkannya. Ada tiga macam
cara pengarang untuk memperkenalkan tokoh dan perwatakan tokoh dan perwatakan
tokoh dalam fiksi:
1.
Dengan cara analitik, yaitu secara
langsung menyebutkan dengan terperinci bagaimana perangai atau watak para
tokoh. Pengarang langsung memaparkan tentang watak atau karakter para tokoh.
2.
Dengan cara dramatik, yaitu pengarang
secara tidak langsung menggambarkan watak-watak para pelakunya. Hal ini dapat
ditempuh dengan berbagai cara, antara lain:
a.
Melukiskan jalan fikiran pelaku atau apa
yang terlintas dalam fikirannya. Dengan cara ini pengarang mengajak pembaca
untuk membaca fikiran pelaku, sehingga pembaca sendiri yang menyimpulkan watak
pelaku melalui jalan fikiran yang dibacanya itu.
b.
Bagaimana reaksi pelaku itu terhadap
suatu kejadian, melalui yang diperbuatnya, tindakan-tindakannya. Reaksi pelaku
terhadap kejadian yang diciptakannya itu merupakan gambaran watak tertentu yang
diinginkan.
c.
Melalui gambaran fisik tokoh. Melukiskan
tampang atau bentuk lahir para tokoh. Pengarang sering melakukan deskripsi
mengenai bentuk tubuh dan wajah tokoh-tokohnya, yaitu cara berpakaian, bentuk
tubuhnya dan sebagainya.
d.
Melukiskan keadaan sekitar tokoh ataupun
keadaan lingkungan sekitar tokoh.
e.
Bagaimana pandangan tokoh lain terhadap
tokoh utama. Melalui dialog tokoh yang satu dengan tokoh yang lain, kita bisa
mengetahui watak pelaku utama tersebut.
3.
Dengan cara analitik dan dramatik. Dalam
hal ini, pengarang menggambarkan tokoh-tokoh itu dengan berbagai cara seperti
yang telah disebutkan tadi. Baik secara langsung maupun tidak langsung.
3)
Tema Cerita
H.G. Tarigan memberikan
pendapatnya mengenai tema sebagai berikut:
(13)
“ Setiap fiksi haruslah mempunyai
dasar atau tema yang merupakan sasaran tujuan. Penulis melukiskan watak para
tokoh dalam karyanya dengan dasar tersebut. Dengan demikian tidaklah berlebihan
jika dikatakan bahwa tema ini merupakan hal yang paling penting dalam suatu
cerita. Suatu cerita tidak mempunyai tema tentu tidak ada gunanya dan artinya.”
Jadi, tema adalah suatu hal yang
paling penting di dalam sebuah cerita. Sebuah cerita yang dilahirkan tanpa tema
tentu saja tidak ada artinya. Walaupun pengarang tidak menjelaskan temanya
secara eksplisit, hal itu dapat disimpulkan oleh pembaca selesai membaca
ceritanya.
Tema adalah ide suatu cerita.
Pengarang didalam melukiskan ceritanya bukan hanya sekedar mau bercerita,
tetapi juga hendak mengatakan sesuatu pada pembaca.
Sesuatu yang hendak diceritakan itu
bisa masalah kehidupan, pandangan hidupnya tentang kehidupan, atau komentar
terhadap kehidupan ini. Kejadian serta perbuatan tokoh cerita, semuanya
didasari oleh ide pengarang.
4)
Suasana Cerita (Atmosfir Cerita)
Setiap
cerita pendek ditulis dengan maksud tertentu. Suasana dalam cerita itu membantu
menegaskan maksud pengarang. Di samping itu suasana cerita juga merupakan daya
pesona pada cerita tersebut.
Cerita
yang menarik hati harus hidup. Pembaca harus dapat merasa bersama pelakon
sagala kejadian yang dialaminya. Suatu keadaan yang dilukiskan harus membayang
dimukanya. Jika tidak demikian, maka cerita akan terasa menjemukan.
Cerita
yang kita baca adalah kejadian atau pembicaraan tokoh-tokohnya, tetapi selama
kita membacanya dan mengikuti cerita tersebut, terasa ada suasana yang
mempengaruhi kita. Tentu saja bahwa suasana cerita baru terbina kalau
unsur-unsur cerita yang lain berjalan dengan baik. Seperti yang dikatakan oleh
Atar Semi:
(14)
“
Suasana tidak akan berbentuk bila pengarang sendiri tidak mengarah ke mana
suasana akan di bawa.”
Jadi,
suasana juga tergantung pada cara pengarang mengarahkan cerita tersebut.
5) Latar
Cerita (Setting)
Latar
atau landas tumpu (setting) cerita adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi.
Untuk dapat melukiskan latar dengan tepat, seorang pengarang haruslah mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang keadaan tempat dan waktu yang akan dijadikan
latar peristiwa yang diceritakan.
M.S.
Hutagalung memberikan pendapatnya tentang setting ini seperti yang dikutip
Parsaoran Sihombing yaitu:
(15)
“
Setting atau latar ialah gambaran tempat atau segala situasi di tempat
terjadinya peristiwa.”
Dalam
cerita pendek, setting haruslah digarap pengarang menjadi unsur cerita yang
penting. Ia terjalin erat dengan karakter, tema, suasana cerita. Setting dalam
certita pendek ini terjalin dengan unsur-unsur lainnya. Dalam cerita pendek
yang baik, setting harus benar-benarr mutlak untuk menggarap tema dan karakter
cerita. Dari setting wilayah tertentu akan menghasilkan perwatakan tertentu dan
tema tertentu pula.
6)
Sudut Pandang Cerita (Point Of View)
Sudut
pandang pencerita/pengarang (point of view) adalah posisi dan penempatan diri
pengarang dalam ceritanya, atau dari mana ia melihat peristiwa-peristiwa yang
terdapat dalam cerita itu. Point of view pada dasarnya adalah visi pengarang
artinya sudut pandangan pengarang untuk melihat peristiwa yang diceritakannya
itu.
Ada
empat macam point of view, seperti yang dibicarakan dibawah ini:
1.
Pengarang sebagai tokoh cerita.
Pengarang sebagai tokoh cerita,
bercerita tentang keseluruhan kejadian atau peristiwa terutama yang menyangkut
diri tokoh. Tokoh utama sebagai pemapar cerita pada umumnya mempunyai
kesempatan yang luas untuk turut menguraikan dan menjelaskan tentang dirinya,
tentang perasaan serta fikirannya, tetapi tidak banyak diketahui atau dapat
diceritakannya tentang peistiwa yang berlangsung di tempat lain pada saat
pelaku itu sendiri tidak berada disana.
2.
Pengarang sebagai tokoh sampingan.
Orang bercerita dalam hal ini adalah
tokoh sampingan yang menceritakan peristiwa yang bertalian, terutama dengan
tokoh utama cerita. Sesekali peristiwa itu juga menyangkut tentang dirinya
sebagai pencerita.
3.
Pengarang sebagai orang ketiga.
Pengarang
sebagai orang ketiga berada di luar cerita bertindak sebagai pengamat sekaligus
sebagai narator, ia menjelaskan peristiwa yang sedang berlangsung serta suasana
perasaan dan fikiran para pelaku cerita.
4.
Pengarang sebagai pemain dan narator.
Pengarang
bertindak sebagai pelaku utama cerita, dan sekaligus sebagai narator yang
menceritakan mengenai orang lain di samping tentang dirinya, biasanya keluar
masuk cerita, tetapi ketika yang lain ia bertindak sebagai pengamat yang berada
di luar cerita.
7)
Gaya (Style) Pengarang
Dalam
dunia karang mengarang, ada dua pengertian mengenai gaya atau style. Pengertian
yang pertama di dalam stilistika yaitu gaya bahasa dalam berbagai bentuk
pengungkapan yang mempergunakan bahasa. Pengertian yang kedua, gaya atau style
adalah gaya bercerita seorang pengarang yang lazim disebut gaya pengarang. Gaya
pengarang merupakan ciri khas seorang pengarang.
Dalam
setiap kali bertutur, si penutur selalu berusaha mempengaruhi pembaca. Berbagai
usaha dan tindakan dilakukannya agar pembaca tertarik dan terpengaruhi oleh
gagasan yang di sampaikannya.
2.
Kerangka
Konseptual
Untuk menghindari tanggapan yang
berbeda-beda tentang penelitian ini, maka penulis memberikan keterangan dari
judul penelitian ini secara konsep. Maksudnya menerangkan beberapa istilah yang
erat kaitannya dengan judul.
Korelasi atau hubungan dalam
penelitian ini dimaksudkan sebagai hubungan timbal balik antara variabel yang
satu dengan yang lainnya. Variabel yang satu (penguasaan teori apresiasi fiksi)
dan yang kedua (kemampuan apresiasi cerita pendek).
Pada variabel yang pertama dicari
penguasaan teori-teori yang berhubungan dengan teori sastra. Teori sastra dalam
hal ini seperti yang dimaksudkan adalah kerangka teoritis. Semua teori terfokus
kepada apresiasi fiksi. Setelah itu dengan adanya teori apresiasi itu akan
dimanifestasikan dalam kemampuan apresiasi cerpen. Dengan kata lain, cerpenlah
satu-satunya alat untuk mengukur teori tadi.
Untuk menerapkan teori itu ke dalam
penganalisaan cerpen adalah penghayatan suatu pengalaman secara intern,
mendalam (menghargai, menghayati dan memahami) karya sastra untuk mendapatkan
pesan, ide atau makna. Tentunya untuk mendapatkan hal itu digunakan teori
apresiasi yang khusus ditujukan pada cerpen.
Berdasarkan jenisnya, fiksi terbagi
atas beberapa genre. Penelitian ini difokuskan pada salah satu genre, yaitu
cerita pendek (cerpen). Cerpen adalah salah satu karya sastra yang berbentuk
prosa yang relatif pendek dan singkat yang dibangun dengan membatasi pada salah
satu aspek saja yang dikembangkan namun didukung oleh unsur-unsur yang lainnya
pula.
Apresiasi cerita pendek ini terpusat
pada unsur instrinsiknya saja (unsur yang membangun cipta sastra dari dalam).
3.
Hipotesis
Berdasarkan permasalahan dan teori
yang telah dikemukakan di atas, maka dalam penelitian ini hipotesis yang
penulis munculkan adalah:
a.
Hipotesis Alternatif (Ha)
Adanya
korelasi antara penguasaan teori apresiasi fiksi dengan kemampuan apresiasi
cerpen siswa kelas II jurusan Akuntansi SMK-2 Harapan Mekar Medan tahun ajaran
2011/2012.
b.
Hipotesis Nol (Ho)
Tidak
adanya kolerasi antara penguasaan teori apresiasi fiksi dengan kemampuan
apresiasi cerpen siswa kelas II jurusan Akuntansi SMK-2 Harapan Mekar Medan
tahun ajaran 2011/2012.
DAFTAR KUTIPAN
1.
Yusmaniar Noor, dkk. Kemampuan Mengapresiasi
Cerita Rekaann Siswa Kelas III SMA di Sumatera Utara (Medan IKIP, 1984), hal.
6.
2.
Yusmaniar Noor, dkk. Loc.Cit
3.
Siti Chamdiah, dkk. Kemampuan
Mengapresiasi Cerita Rekaan Siswa Kelas III SMA DKI. Jakarta (Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud, 1981), hal. 7.
4.
Panuti Sudjiman,ed. Kamus Istilah Sastra
(Jakarta: Gramedia, 1986), hal. 29.
5.
H.G. Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar
Sastra (Bandung: Angkasa, 1986), hal. 20.
6.
H.G. Tarigan. Ibid.
7.
H.G. Tarigan. Ibid.
8.
H.G. Tarigan. Ibid.
9.
Jakob Sumarjo dan Saini K.M. Op.Cit.
hal. 38.
10.
H.G. Tarigan, Op.Cit. hal. 176.
11.
Parsaoran Sihombing, dkk. Op.Cit. hal.
13.
12.
Rene Wellek dan Austin Warren. Teori
Kesusastraan (Jakarta: Gramedia, 1989), hal. 79.
13.
H.G. Tarigan. Op.Cit. hal. 125.
14.
Atar Semi. Op.Cit. hal. 57-58.
15.
Parsaoran Sihombing, dkk. Op.Cit. 34.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Pendekatan yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah pendekatan korelasi (mencari hubungan). Pendekatan ini
adalah pendekatan yang sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Metode yang
tepat sangat menentukan dan membantu penelitian dalam memecahkan masalah dan
juga untuk mempermudah pembuktian hipotesa sesuai dengan yang diharapkan.
Pada bagian ini akan diuraikan
secara terperinci mengenai lokasi dan waktu penelitian, populasi dan sampel,
alat pengumpul data dan teknik analisis data.
1.
Lokasi
dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di
SMK-2 Harapan Mekar Medan tahun ajaran 2011/2012. Alasan memilih tempat ini
untuk dijadikan sebagai lokasi penelitian sebagai berikut:
a.
Di sekolah tersebut belum pernah
dilaksanakan penelitian dengan topik yang sama.
b.
Penulis telah mengetahui keadaan sekolah
dan guru-guru Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah tersebut.
c.
Lokasi tersebut tidak terlalu jauh dari
tempat tinggal penulis, sehingga dapat menghemat waktu, tenaga dan biaya.
2.
Populasi
dan Sampel
Sudjana dalam bukunya Metode
Statistika memberikan pengertian populasi sebagai berikut:
(1)
“ Totalitas semua yang memungkinkan hasil menghitung
ataupun pengukuran, kuantitas maupun kualitas daripada karakteristik tertentu
mengenai sekumpulan objek yang lengkap dan jelas yang inin dipelajari
sifat-sifatnya dinamakan populasi.”
Selanjutnya Sudjana memberikan pengertian sampel
sebagai berikut :
(2)
“ Adapun sebahagian dari populasi yang diambil
disebut sampel. Sampel itu haruslah representatif dalam arti segala
karakteristik populasi hendaknya tercermin pula dalam sampel yang diambil.”
Dari uraian di atas maka yang
menjadi populasi pada penelitian ini adalah siswa kelas II jurusan Akuntansi
SMK-2 Harapan Mekar Medan. Pada hasil pengamatan terdahulu penulis memperoleh
masukan bahwa siswa kelas II jurusan Akuntansi SMK-2 Harapan Mekar Medan
terdiri dari dua kelas, sehingga penulis mengambil kesimpulan untuk mengambil
semua populasi dijadikan sebagai sampel.
3.
Alat
Pengumpul Data
Data merupakan informasi yang
sangat dibutuhkan seorang peneliti. Untuk memperoleh data yang dibutuhkan,
seorang peneliti menggunakan alat pengumpul data yang sesuai dengan apa yang
diinginkan dan dicari oleh peneliti.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui penguasaan teori apresiasi fiksi dengan kemampuan apresiasi cerpen.
Untuk mencari data tersebut, maka pada penelitian ini alat pengumpul data
adalah tes. Adapun penulis mengambil bentuk tes ini adalah sesuai dengan
pendapat yang dikemukakan oleh Muhammad Ali:
(3)
“
Kelebihan dari tes objektif, dibandingkan dengan bentuk tes lainnya,
diantaranya: (1) dapat diskor dengan mudah dan tepat, (2) dapat mentes bahan
yang banyak dalam waktu yang singkat, (3) pertanyaan lebih mudah dituliskan,
dan (4) dapat menghindari kemungkinan menjawab dengan tebakan, karena
kemungkinan jawaban lebih banyak.”
Dalam penelitian ini tes apresiasi fiksi dilakukan dalam
bentuk tes objektif tes demikian juga tes kemampuan apresiasi cerpen. Di sini
penulis akan menguji sejauh mana penguasaan teori apresiasi fiksi dan juga
kemampuan apresiasinya.
4.
Organisasi Pengolahan Data
Setelah data penelitian ini terkumpul, maka data itu
diolah melalui langkah-langkah sebagai berikut:
1)
Mentabulasi data tes teori apresiasi
fiksi:
a. Membuat
tabulasi skor.
b. Membuat
susunan distribusi frekwensi skor tes.
c. Mencari
mean dan standart deviasi.
d. Menentukan
nilai akhir setiap siswa.
2)
Mentabulasi data tes penguasaan
apresiasi cerpen:
a. Membuat
tabulasi skor.
b. Membuat
susunan distribusi frekwensi skor tes.
c. Mencari
mean dan standart deviasi.
d. Mentukan
nilai akhir setiap siswa.
3)
Menghitung koefesien kolerasi X dan Y.
4)
Pengujian Hipotesis.
a. Uji
normalitas.
b. Uji
linieritas.
c. Uji
r (kolerasi)
5)
Analisis tes.
5.
Teknik
Analisis
Pengolahan atau analisis data penelitian adalah dengan
teknik statistik kuantitatif. Data tes dalam bentuk skor akan di ubah menjadi
angka. Jadi yang dikolerasikan adalah hasil penguasaan teori apresiasi fiksi
dengan kemampuan apresiasi cerpen.
Untuk mengetahui koefesien kolerasi antara kedua
variabel, penulis menggunakan rumus “ Produck Moment “dari Pearson yaitu:
(5)
=
DAFTAR KUTIPAN
1.
Sudjana, Metode Statistika (Bandung:
Tarsito, 1984), hal. 30.
2.
Sudjana, Op. Cit. Hal. 5.
3.
Muhammad Ali, Penelitian Kependidikan
Prosedur dan Strategi (Bandung: Angkasa, 1986), hal. 102.
Lampiran 1
ORDE
LAMA
SYADAN…. Di kala fajar
dengan sinarnya mengambang di puncak bukit sebelah Timurr Danau. Bunyi Canang
pun kedengaran bertalu-talu menembus telinga penduduk meski tinggalnya jauh
dipinggang bukit Canang pemberitahuan dari Kepala Desa.
“
Bukan canang gotong royong. Sebab kini hari Jum’at. Pikir Leman selagi
menyiangi ladang cabai.
Semenjak
desa sekitar danau itu dibebaskan dari pasukan PRRi, hampir setiap hari
penduduk dikerahkan bergotong royong. Kalau tidak memperbaiki jalan, tentu
menebas pohon pisang di sekitar perkampungan, karena pohon pisang daapat
dijadikan perlindungan oleh pasukan PRRI
jika menyerang desa. Kalau tidak membersihkan halaman kantor Kecamatan,
tentulah membuat pagar bambu di sepanjang jalan desa agar pasukan PRRI tidak
leluasa menerobos ke dalam desa itu.
Hanya pada setiap hari Jum’at gotong royong diadakan. Karena waktu itu pada
hari itu demikian pendek menjelang sembahyang Jum’at.
Oleh
karena itu, Leman merasa lega juga. Meski ada canang ditabuh, pastilah tidak
akan mengganggu rencananya hari itu. Karena ia bermaksud pergi ke Kecamatan
untuk minta menikahkan Ramalah, anak
gadisnya yang sulung. Tanpa surat izin Kantor Agama Kecamatan, tidak
seorang kadhi pun dapat menikahkan Ramalah. Sedang pernikahan itu harus segera
dilaksanakan. Kalau tidak akan sangat terlambat jadinya. Laki-laki yang bakal
menjadi suami Ramalah akan mempunyai kesempatan untuk berhela lagi. Itu tidak
boleh terjadi. Kalau sampai itu terjadi, wah…wah…wah Leman tak maapu
memikarkannya panjang-panjang.
Ramalah
telah hamil tiga bula. Sedang laki-laki itu menolak menikahi. Dalihnya, Ramalah
tidak perawan sebelum dengan dia. Tapi Ramalah berkeras bahwa laki-laki itulah
satu-satunya yang menidurinya. Namun setelah dibujuk dan dijanjikan akan
dibelikan sebuah sepeda asal mau menikahi Ramalah., berubah laki-laki itu
bersedia menikahi Ramalah. Sungguhpun begitu, masih ada syarat laki-laki itu
lagi. Ia hanya mau menikahi saja, tapi ia takkan pulang untuk serumah.
“
Baikalah. Pokoknya Ramalah pernah menikah, meski kemudian ia akan menjanda
seumur hidupnya. Soalnya anak yang dalam kandungan Ramalah telah punya ayah
yang sah”. Leman menegas dalam hatinya ketika laki-laki itu mengajukan syarat
tambahan. Keputusan itu baru diperoleh tadi malam. Dan kalu hari itu pernikahan
tidak sampai berlangsung, mungkin laki-laki itu mungkir.
Kecamatan. Di Lepau simpang desa ia
diteriaki orang agar Leman jangan ke Kecamatan hari itu, karena ada razia.
Sebab ia telah punya surat keterangan yang cukup.
Jalan
raya demikian sepi. Ttidak seperti hari biasanya hari Jum’at yang jadi hari
pasar di desa Kapur. Tapi tidak menjadi pikiran Leman. Pikirannya terpusat pada
masalah pernikahan Ramalah. Kata ulama yang menjadi ikutan Leman, yang
berkewajiban yang menikahkan anak perempuannya ialah Bapaknya. Kadhi cuma
sebagai saksi saja. Kalau sesederhana itu cara pernikahan menurut agamanya,
sebetulnya ia tidak perlu ke kanto Agamauntuk memperoleh izin. Seandainya
Pemerintah memerlukan pencatatan, itu bisa dilakukan kemudian saja. Tapi
pernikahan demikian tidak menurut aturan. Maka tiba-tiba saja Leman merasakan,
bahwa aturan bisa juga menyulitkan orang.
Sulit
atau tidak, ia mesti ke kantor Agama hari itu juga. Dan oleh tekadnya itu,
sebuah rencana besar yang akan menjadi kebanggaan nasional hampir saja
berantakan.
KARENA…
presiden telah memerintahkan, pada hari Proklamasi yang akan datang ini. Negara
Republik Indonesia harus dinyatakan sebagain negara yang bebas buta huruf.
Karena itu, perlu diadakan razia guna mengetahui apakah Indonesia telah
betul-betul bebas dari buta huruf. Setelah semakin lama dilakukan kampanye
pemberantasannya. Untuk propisi kami, Gubernur telah memerintah agar razia
dilakukan di desa Kapur, desa asal-usulnya. Sebagai suatu simbolik. Karena
sebagai putra utama negara, Gubernur harus memperlibatkan pada Presiden bahwa
desa-desa asal-usulnya telah melaksanakan perintah Presiden dengan baiknya. Dan
Gubernur sendiri akan datang bersama panitia untuk mengawasi razia itu.
“
Jangan bikin malu aku” kata Gubernur pada Bupati beberapa hari yang lalu. Dan
Bupati meneruskan pesan itu kepada Camat. “ Jangan sampai aku dimarahi
Gubernur”.
“
Dan Camat memerintahkan kepada Kepala Desa di sekitar danau itu. “ Kalau masih
ada kedatangan yang buta huruf, kepala desanya akan kumasukkan dalam tahanan”.
Dan
kepala desa memerintahkan pada orang ronda. “ Bunyikan canang. Suruh semua
orang buta huruf masuk hutan”.
Dan
Leman hanya mendengar bunyi canang. Tidak mendengar suara ronda yang berseru.
Maka tiba-tiba saja Leman dicegat di ambang desa Kapur oleh petugas yang
melakukan razia. Ia dibawa ke hadapan papan tulis yang disandarkan pada
sandaran kursi di tepi jalan raya. Semua mata yang berkerumun memandang
padanya.
“
Baca”. Perintah seorang petugas sambil menunjuk dengan sebatang rotan pada
huruf putih di papan tulis.
“
Ya Allah, bencana apa yang akan menimpa Ramalah, anakku?” teriaknya dalam hati
sambil melirik-lirik kiri-kanan mencari celah lowong tempat itu.
Setelah
berulang-ulang petugas itu memerintah sampai membentak, tidak ada celah lowong
bagi tempat lari Leman. Hanya sekujur tubuhnya basah oleh keringat karena
kepayahan jalan kaki dari rumahnya dan karena menahan rasa kecut.
Lidahnya
menjadi kelu. Bukan karena kecut oleh bentakan itu, melainkan karena memangnya
ia tidak bisa membaca huruf yang ditunjuk oleh petugas itu. Selintas ia ingat
Tuhan dan ia ingin berdoa semoga ia diberi mukjizat. Tapi ia tidak tahu doa apa
yang harus dibacanya ketika itu.
Kulit
wajah Gubernur kehitam-hitaman menjadi kelabu karena naik pitam. Ketika Leman
digiring orang ke tempat para pejabat yang mengawasi razia itu. Dengan bengis
ia menegur Bupati. Dan Bupati kena tegur, membalaskannya kepada Camat. Dan
Camat membalaskannya dengan membentak Kepala Desa. Tapi Kepala Desa mempunyai
kesempatan berfikir seperti kapal terbang pemburu yang sering lewat di desanya
ketika mencari kubu PRRI. Ia maklum Gubernur akan merasa malu besar, karena
masih kedapatan orang yang buta huruf dikampung halamannya. Segera ia menjawab
bentakan Camat.
“
Tapi, Pak Gubernur, orang ini bukan orang kampung kita”.
Tiba-tiba
saja wajah Gubernur menjadi cerah, lalu ia berkata pada ketua Tim Razia yang
sengaja diutus dari Jakarta. “ Benarkan kata ku? Tidak ada orang kampung
halamanku yang masih buta huruf”.
“
jadi dia dari mana?” tanya ketua Tim Razia itu.
“
Dari desa seberang bukit, Pak”. Kepala desa dengan cepat.
“
Jangan memojokkan aku, ya?” tiba-tiba
Bupati yang bangkit berangnya oleh jawaban kepala desa itu. Sekali lagi Kepala
Desa itu menunjukkan kecerdasannya. Memang ia baru datang dari desa seberang
bukit, Pak. Tapi aslinya dari penduduk kiliran”.
“
Itu keterangan yang betul. Karena minggu lalu aku telah mengadakan razia di
sana. Tidak ada seorang pun penduduk yang masih buta huruf.” Kata Bupati pula
dengan memaksakan kebanggaannya kepada ketua Tim Razia dari Jakarta itu.
“
Kami percaya.” Ulas orang dari Jakarta itu dengan tenang-tenang saja.
Masalahnya, bagaimana bunyi laporan ke Departemen kelak?”.
Pertanyaan
yang tidak mudah untuk dicarikan jawabannya. Meski Leman bukan penduduk Desa
Kapur, bukan pula penduduk desa seberang bukit, tapi toh dia penduduk dari
propinsi di bawahi Gubernur?. Semua orang yang hadir di situ berbisik-bisik ke
telinga Leman. Lalu ia berbisik ketelingan Leman. Bisikannya, “ Jahanam kau”.
Rundung
punya runding, maka musyawarah antara pejabat yang berkumpul kembali
membuktikan keampuhannya. Sehingga ketua Tim Razia dari Jakarta itu berkata
pada wartawan yang juga hadir. “ PBB harus belajar dari Indonesia, bagaimana
memberantas buta huruf”.
Dan
Gubernur menyambung, “ Rencana Presiden telah kita laksanakan dengan sempurna”.
Musyawarah
yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang mengikuti jalan razia itu telah
memutuskan bahwa buta huruf yang masih ada pada Leman harus diberantas. Tugas
itu berikan kepada Camat dan di awasi oleh Bupati. Dan Camat menyanggupi, bahwa
dalam waktu tiga bulan Leman tidak buta huruf lagi. Sehingga pada hari
proklamasi depan ini, Presiden sudah bisa mengumumkan ke seluruh dunia bahwa Indonesia
telah bebas dari buta huruf., lalu rombongan dari kota itu meninggalkan Desa
Kapur dengan membawa wajah yang berseri-seri.
Tapi
Leman tinggal dengan loyo oleh bentakan dan makian pegawai camat. Dan jatuh
pingsan ketika camat memberikan hukuman mengangkut 40 karung semen dalam waktu
seminggu ke pintu air yang tengah dibangun di kaki Bukit Sarahan. Leman jatuh
pingsan karena tahu letak dua pintu air itu dua jam perjalanan melalui pematang
sawah dan tidak ada kendaraan bisa ke sana. Dan dia tidak bisa mengangkat
sendiri. Ia harus mengubah orang lain. Kalau ia mengubah, itu artinya sepeda
untuk calon suami Ramalah tak jadi dibeli.
Dengan
menangis Leman mengadukan nasibnya kepada Kepala Desa. Ia ceritakan segala
kesulitan yang dihadapinya. Tapi Kepala Desa hanya bisa menasehati agar menemui
camat. Dengan harapan yang hilang-hilang timbul ia menemui camat sebelum Leman
habis memberitahukan kesulitannya.
Mestinya
Leman menemui Bupati untuk minta belas kasihan. Tapi pengalamnnya dengan camat
telah memberi pelajaran baginya, yakni: tambah tinggi tempat mengadu tambah
berat siksaan yang dideritannya kelak.
Tak
ada jalan lain baginya kini. Selain menyerahkan Ramalah pada suratan nasibnya
sendiri.
Dan
ketika Presiden mengumumkan Proklamasi seperti yang direncanakan, berteriaklah
seorang bayi yang baru saja keluar dari rahim ibunya. Kelahirannya terlalu
cepat dua bulan. Tapi Leman merasa lebih tua sepuluh tahun lagi, ketika
memikirkan pertanyaan si bayi kelak: “ Siapa ayah saya?”.
Oleh A.A. Navis
dalam Laut Biru Langit Biru, 1977.
DAFTAR PUSTAKA
Ali,
Muhammad. 1982. Penelitian Pendidikan Prosedur dan Strategi.
Bandung: Tarsito.
Chamdiah,
Siti. 1981. Kemampuan Mengapresiasi Cerita Rekaan Siswa
Kelas III Sekolah Menengah Atas DKI Jakarta.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Keraf,
Gorys. 1984. Komposisi. Flores: Nusa Indah.
Noor,
Yusmaniar. 1984. Kemampuan Mengapresiasi Cerita Rekaan
Siswa Kelas III Sekolah Menengah Atas
di Sumatera Utara. Medan: IKIP.
Rusyana,
Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan.
Bandung: Diponegoro.
Sumarjo,
Jakob. 1986. Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta:
Gramedia.
Sumarjo,
Jakob dan Saini KM. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Surakhmad,
Winarno. 1982. Dasar dan Teknik Research. Bandung:
Tarsito.
Tarigan,
H.G. 1986. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Wellek,
Rene dan Austin Werren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta:
Gramedia.
Nursyam.
1991. Metodologi Penelitian. Solo: Assifa.
Navis,
A.A. 1977. Orde Lama. Dalam Laut Biru Langit Biru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar