KONSEP
TEOLOGI IBNU TAIMIYAH DAN
KONSEP TEOLOGI AL-GHAZALI
Sejarah Singkat
Ibnu Taimiyah
a. Nama dan Nasab
Beliau adalah Imam, tauladan, ilmuan, dan
penyeru ajaran Muhammad, baik dengan kata, tindakan, kesabaran maupun jihadnya;
Revivalis ajaran Islam yang sempurna dengan inspirasi al-Qur’an sebagai wahyu
Allah SWT. dan al-Sunnah sebagai cerminan budi perbuatan sang Rasul. Dia adalah
Ahmad Taqiyuddin Abu Abbas bin Syihabuddin Abi Mahasin Abdul Halim bin Mujiddin
Abi Barakat Abdus Salam bin Abi Muhammad Abdullah bin Abi Qasim al- Khudri bin
Ali bin Abdullah. Keluarga ini dikenal dengan keluarga Ibnu Taimiyah.
Beliau lahir di Harran, salah satu kota induk di
Jazirah Arabia yang terletak antara sungai Dajlah (Tigris) dengan Efrat, pada
hari Senin 10 Rabi'ul Awal tahun 661H. Beliau berhijrah ke Damaskus (Damaskus)
bersama orang tua dan keluarganya ketika masih kecil, disebabkan serbuan
tentara Tartar atas negerinya.
Mereka menempuh perjalanan panjang pada malam hari dengan menyeret sebuah gerobak besar yang dipenuhi dengan kitab-kitab, bukan barang-barang perhiasan atau harta benda, tanpa ada seekor binatang tunggangan pun pada mereka.
Mereka menempuh perjalanan panjang pada malam hari dengan menyeret sebuah gerobak besar yang dipenuhi dengan kitab-kitab, bukan barang-barang perhiasan atau harta benda, tanpa ada seekor binatang tunggangan pun pada mereka.
Suatu saat, gerobak mereka mengalami kerusakan di
tengah jalan, hingga hampir saja pasukan musuh memergokinya. Dalam keadaan seperti
ini, mereka ber-istighatsah (mengadukan permasalahan) kepada Allah.
Akhirnya mereka bersama kitab-kitabnya selamat sampai tujuannya.
b. Pertumbuhan dan Perhatiannya Terhadap Ilmu
Semenjak kecil sudah nampak tanda-tanda kecerdasan
pada diri beliau. Begitu tiba di Damaskus, beliau segera menghafalkan al-Qur'an
dan mendalami berbagai cabang ilmu pada para ulama, huffazh dan
ahli-ahli hadits negeri itu. Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat para
tokoh ulama tersebut tercengang.
Ketika umur beliau belum mencapai belasan tahun,
beliau sudah menguasai ilmu Ushuluddin dan sudah mendalami bidang-bidang
tafsir, hadits dan bahasa Arab. Selain
itu, beliau telah mengkaji Musnad al-Imam Ahmad sampai beberapa
kali, kemudian Kitab al-Sittah dan Mu'jam al-Thabarany al-Kabir.
Suatu kali, ketika beliau masih kanak-kanak,
pernah ada seorang ulama besar dari Halab yang sengaja datang ke Damaskus,
khusus untuk melihat si bocah bernama Ibnu Taimiyah yang kecerdasannya menjadi
buah bibir. Setelah bertemu, ia memberikan tes dengan cara menyampaikan belasan
matan hadits sekaligus. Ternyata Ibnu Taimiyah mampu menghafalkannya secara
cepat dan tepat. Begitu pula ketika disampaikan kepadanya beberapa sanad,
beliaupun dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang dan menghafalnya. Hingga
ulama tersebut berkata: "Jika anak ini hidup, niscaya ia kelak mempunyai
kedudukan besar, sebab belum pernah ada seorang bocah seperti dia.”
Sejak kecil beliau hidup dan dibesarkan di
tengah-tengah para ulama, mempunyai kesempatan untuk mereguk sepuas-puasnya
taman ilmu berupa kitab-kitab yang bermanfaat. Beliau gunakan seluruh waktunya
untuk belajar dan belajar, menggali ilmu terutama Kitabullah dan sunah
Rasul-Nya.
Lebih dari itu, beliau adalah orang yang keras
pendiriannya dan teguh berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan Allah,
mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Begitulah seterusnya Ibnu Taimiyah, selalu
sungguh-sungguh dan tiada putus-putusnya mencari ilmu, sekalipun beliau sudah
menjadi seorang ulama yang besar pada masanya.
c. Da'i, Mujahid, dan Pemelihara Ajaran Islam
Sejarah telah mencatat bahwa Ibnu Taimiyah bukan
saja sebagai da'i yang tabah, liat, wara', zuhud dan ahli ibadah, tetapi
beliau juga seorang pemberani yang ahli berkuda. Beliau adalah pembela tiap
jengkal tanah umat Islam dari kezhaliman musuh dengan pedangnya, seperti halnya
beliau adalah pembela aqidah umat dengan lidah dan penanya.
Dengan berani Ibnu Taimiyah berteriak memberikan
komando kepada umat Islam untuk bangkit melawan serbuan tentara Tartar ketika
menyerang Syam dan sekitarnya. Beliau sendiri bergabung dengan mereka dalam
kancah pertempuran. Sampai ada salah seorang amir memberikan kesaksiannya:
".. tiba-tiba ditengah kancah pertempuran terlihat dia bersama saudaranya
berteriak keras memberikan komando untuk menyerbu dan memberikan peringatan
keras supaya tidak lari. " Akhirnya dengan izin Allah, pasukan Tartar
berhasil dihancurkan, dan selamatlah negeri Syam, Palestina, Mesir dan Hijaz.
Tetapi karena ketegaran, keberanian dan kelantangan
beliau dalam mengajak kepada kebenaran, akhirnya justru membakar kedengkian
serta kebencian para penguasa, para ulama dan orang-orang yang tidak senang
kepada beliau. Orang-orang yang tidak sependapat dengannya meniupkan racun-racun fitnah sehingga beliau
harus mengalami berbagai tekanan, dipenjara, dibuang, diasingkan dan disiksa.
d. Kehidupan Penjara
Kedudukan dan derajat yang tinggi yang diberikan
Allah kepadanya memancing kecemburuan rival-rivalnya yang tidak sependapat
dengannya. Hasutan dan lemparan-lemparan kebencian pun tidak dapat dihindari,
kerena sudah menjadi sebuah kepastian ketika seseorang diberi kedudukan yang
mulia oleh Allah, semakin tinggi pula hasutan-hasutan yang terlontar kepadanya.
Hal inilah yang dialami Ibnu Taimiyah ketika
tidak seorang pun menyamai kedudukannya, baik dalam bidang keilmuan maupun
sosial. Hembusan-hembusan fitnah yang
ditiupkan oleh rival-rivalnya mengakibatkan beliau mengalami tekanan berat
dalam berbagai penjara, tetapi dengan penuh kebijaksanaan, beliau menghadapi
segalanya dengan tabah, tenang dan gembira. Terakhir, beliau harus masuk ke
penjara Qal'ah di Damaskus. Dan beliau berkata: "Sesungguhnya aku
menunggu saat seperti ini, karena di dalamnya terdapat kebaikan besar."
Dalam syairnya yang terkenal, beliau berkata:
"Apakah yang diperbuat musuh padaku !!!!
Aku, taman dan dikebunku ada dalam dadaku
Kemanapun ku pergi, ia selalu bersamaku
dan tiada pernah tinggalkan aku.
Aku, terpenjaraku adalah khalwat
Kematianku adalah mati syahid
Terusirku dari negeriku adalah rekreasi.
Aku, taman dan dikebunku ada dalam dadaku
Kemanapun ku pergi, ia selalu bersamaku
dan tiada pernah tinggalkan aku.
Aku, terpenjaraku adalah khalwat
Kematianku adalah mati syahid
Terusirku dari negeriku adalah rekreasi.
Beliau pernah berkata dalam penjara:
"Orang dipenjara ialah orang yang terpenjara hatinya dari Rabbnya, orang
yang tertawan ialah orang yang ditawan oleh hawa nafsunya."
Ternyata penjara baginya tidak menghalangi
kejernihan fitrah islahiyah-nya, tidak menghalanginya untuk berdakwah
dan menulis buku-buku tentang aqidah, tafsir dan kitab-kitab bantahan terhadap
ahli-ahli bid'ah.
Pengagum-pengagum
beliau diluar penjara semakin banyak. Sementara di dalam penjara, banyak
penghuninya yang menjadi murid beliau, diajarkannya oleh beliau agar mereka iltizâm
kepada syari'at Allah, selalu beristighfar, tasbih, berdoa dan melakukan
amalan-amalan shahih. Sehingga suasana penjara menjadi ramai dengan suasana
beribadah kepada Allah. Bahkan dikisahkan banyak penghuni penjara yang sudah
mendapat hak bebas, ingin tetap tinggal di penjara bersamanya. Akhirnya penjara
menjadi penuh dengan orang-orang yang belajar tentang agama kepadanya.
Tetapi kenyataan ini menjadikan musuh-musuh beliau
semakin dengki dan marah. Maka mereka terus berupaya agar penguasa memindahkan
beliau dari satu penjara ke penjara yang lain. Tetapi inipun menjadikan beliau
semakin terkenal. Pada akhirnya mereka menuntut kepada pemerintah agar beliau
dibunuh, tetapi pemerintah tidak mendengar tuntutan mereka. Pemerintah hanya
mengeluarkan surat keputusan untuk merampas semua peralatan tulis, tinta dan
kertas-kertas dari tangan Ibnu Taimiyah.
Namun beliau tetap berusaha menulis di
tempat-tempat yang memungkinkan dengan arang. Beliau tulis surat-surat dan
buku-buku dengan arang kepada sahabat dan murid-muridnya. Semua itu menunjukkan
betapa hebatnya tantangan yang dihadapi, sampai kebebasan berfikir dan menulis
pun dibatasi. Ini sekaligus menunjukkan betapa sabar dan tabahnya beliau.
d. Kitab Dan Risalah-Risalahnya
Beliau adalah figur orang yang sangat gigih dan
selalu haus akan ilmu, baik agama maupun yang lain. Bahkan sulit untuk
menentukan dalam bidang apa beliau berkecimpung, apakah beliau ahli fiqih (faqih),
ahli logika (mutakalim), ahli tafsir (mufassir), ahli hadits (muhaddits),
filosof, atau yang lainnya. Hal itu dapat dilihat dalam karya-karya besarnya
yang hampir dalam setiap bidang terdapat karyanya.
Para ulama
sepakat, baik yang pro maupun yang kontra, bahwa jumlah karangan beliau dalam
berbagai bidang ilmu agama mencapai 300 kitab. Diantaranya: Muqaddimah fi
Ushul al-Tafsir dan Tafsir ayât Asykalat (Al-Qur’an dan ilmunya), As’ilah
fi Musthalah al-Hadits dan Syarh Hadits al-Nuzul (hadits
dan ilmunya), Aqidah Wasithiyah dan Minhaj Al-Sunnah al-Nubuwah (teologi),
Ushul Al-Fiqh dan Syarh Al-‘Umdah fi Al-Fiqh (Fiqih dan
Ushulnya), al-Shufiyah wa al-Fuqara’ dan al-Risalah al-Tadmiriyah (tasawuf),
al-Radd ala al-Manthiqiyin dan al-Radd ala al-Falâsifah (filsafat
dan logika), Majmû‛ Fatâwa,
Dar’u Ta‛ârudh al-Aql wa al-Naql, dan lain-lain.
e. Wafatnya
Beliau wafat di dalam penjara Qal'ah Damaskus
disaksikan oleh salah seorang muridnya yang menonjol, Ibnul Qayyim Al-Jauzy.
Beliau berada di penjara ini kurang lebih selama dua tahun tiga bulan. Selama
dalam penjara beliau selalu beribadah, berdzikir, tahajjud dan membaca
Al-Qur'an. Dikisahkan, dalam tiap harinya ia baca tiga juz. Selama itu pula
beliau sempat menghatamkan al-Qur'an
delapan puluh satu kali.
Perlu dicatat bahwa selama beliau dalam penjara,
tidak pernah mau menerima pemberian apa pun dari penguasa. Jenazah beliau
dishalatkan di Masjid Jami' Damaskus sesudah shalat Zhuhur. Hampir semua
penduduk Damaskus hadir untuk menshalatkan jenazahnya, termasuk para Umara',
Ulama, tentara dan sebagainya, hingga kota Damaskus menjadi libur total hari
itu. Bahkan semua penduduk Damaskus tua,
muda, laki-laki, perempuan, anak-anak keluar untuk menghormati kepergian
beliau.
Beliau wafat pada tanggal 20 Dzu al-Hijjah 728
H, dan dikuburkan pada waktu Ashar di
samping kuburan saudaranya Syaikh Syarifuddin Abdullah di pemakaman al-Shufiyah yang
disaksikan kurang lebih 60.000 orang.
KONSERVASI AQIDAH ISLAMIYAH
a. Metodologi penafsiran Al-Qur’an Ibnu Taimiyah
Sebelum kita
memahami lebih jauh tentang pemikiran keagamaan (al-Fikr al-Dîny) Ibnu
Taimiyah, merupakan suatu keharusan kita untuk memahami bagaimana metode (manhaj)
beliau dalam memahami dan menafsiri al-Qur’an. Mengapa demikian?, kerena
al-Qur’anlah yang menginspirasinya dan mendasarinya dalam pendapat-pendapatnya
tentang permasalahan-permasalahan agama (al-umûr al-Dîny). Dialah sosok
ulama yang tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya, kecuali disertai dengan
al-Qur’an atau Hadits Rasul, baik dalam permasalahan aqidah, fiqih, tazkiyah
sampai permasalahan sosial masyakat dan politik.
Tokoh
konservatif ini, dalam setiap da’wahnya selalu membawa jargon-jargon salaf (generasi
terdahulu) untuk menentang dan mengkritisi ulama-ulama khalaf (generasi
selanjutnya). Beliau berasumsi bahwa apa yang dikumandangkan golongan Khalaf
sering melenceng dari Khithoh (garis) yang telah ditentukan generasi
pendahulunya. Lebih dari itu, terkadang bertentangan dalam permasalahan
tertentu.
Ajaran Islam
yang murni, yang telah diwariskan oleh generasi cemerlang Islam (salaf
al-shalih) sudah menyatu dan
mendarah mendaging dengan jiwanya. Inilah yang telah membentuk kerangka
berfikirnya dalam berbagai disiplin ilmu. Tidak terkecuali dalam memahami
dan menafsiri al-Qur’an. Beliau
meletakan tiga metode dalam memahami al-Qur’an, yang dijadikan dasar-dasar
dalam pengambilan hukum-hukum agama (istinbat al-ahkâm). Tiga
metode tersebut adalah:
- Tafsir al-Qur’an dengan sunnah Rasul SAW.;
- Tafsir al-Qur’an dengan ucapan dan perbuatan para sahabat;
- Tafsir al-Qur’an dengan ucapan dan perbuatan para tabi’in.
Ibnu Taimiyah
sangat menyakini, bahwasannya Rasul tidak melewatkan satu ayat pun yang
diwahyukan oleh Allah, kecuali beliau sampaikan kepada para pengikutnya dengan
penjelasan yang sangat gamblang dan tidak menyisakan pertanyaan lagi. Begitu
pula para sahabat, mereka adalah generasi pertama dan juga generasi terbaik
Islam, yang mengetahui peristiwa turunnya wahyu dan mendengar secara
langsung penjelasan-penjelasan Rasul
atas wahyu-wahyu Allah yang telah diturunkan kepadanya.
Kemudian disusul
dengan generasi selanjutnya, yaitu para pengikut Sahabat (tabi’in). Mereka
adalah generas kedua yang menerima ajaran-ajaran agama dari generasi pertama
Islam dan telah ditetapkan oleh Rasul dalam haditsnya sebagai generasi terbaik
Islam.
Kesinambungan
itulah yang mendorong Ibnu Taimiyah untuk selalu meng-itba’ (mengikuti)
jejak-jejak para generasi cermelang Islam tersebut dan beliau berkeyakinan
bahwa apa yang terjadi pada masa itu sudah mewakili permasalahan umat di masa
selanjutnya.
b. Konsep
Teologi Ibnu Taimiyah
Dalam konsep
teologi, Ibnu Taimiyah membagi menjadi tiga bagian:
1. Tauhîd al-Rububiyah
Adalah bentuk
pengesaan kepada Allah SWT. dalam tiga hal yang meliputi penciptaan (al-khalq),
kepemilikan (al-mulk), dan pengaturan (al-tadbîr). Dalam hal ini
hanya Allah yang menciptakan alam semesta dan semua perlengkapannya dan hanya
Dialah yang memiliki semua isi alam ini, tidak ada ciptaan sekecil apapun
kecuali Dialah yang memilikinya. Lebih dari itu, Dia juga yang mengatur semua keharmonisan, keserasian, dan
keselarasan alam semesta ini.
2. Tauhîd al-Ûlûhiyah
Tauhid ini
merupakan bentuk pengesaan terhadap
Allah SWT. dalam bentuk ibadah, dengan
seorang hamba tidak akan melakukan penyembahan kepada selain Allah SWT.
dengan membersihkan segala sekutu
dari-Nya. Dialah Dzat yang berhak untuk disembah, diagungkan dan dibesarkan
nama-Nya.
Dalam dua tauhid
yang pertama ini, Ibnu Taimiyah membedakan antara kalimat “al-Rab” dan “al-Ilah”
yang sebenarnya mempunyai kesamaan
arti, yaitu Tuhan. Menurut beliau kedua kalimat yang bersinonim ini mempunyai
arti yang sangat beda; “al- Rab” bermakna Dialah dzat yang menciptakan
hamba-Nya dan memberikan semua ciptaan-Nya kepadanya serta mengatur dan
menunjukannya pada jalan-Nya yang lurus (al-Shirâth al- Mustaqîm).
Sedangkan kalimat “al-Ilah” bermakna Dialah dzat yang berhak untuk
dituhankan dan disembah dengan rasa cinta, pasrah, penghormatan dan
pengagungan, tiada sekutu bagi-Nya.
3. Tauhîd al-Asma’ wa
al-Shifât
Para ulama
sepakat, baik salaf maupun khalaf tentang dua tauhid yang
pertama, walaupun mereka berbeda pada istilah yang dipakainya. Berbeda sekali
dengan jenis tauhid yang ketiga, yang telah dirumuskan oleh Ibnu Taimiyah
tentang nama-nama Allah SWT. dan sifat-sifat-Nya. Beliau sangat berbeda dengan
kebanyakan ulama kalam dan filosof (ulama khalaf) dalam memberikan dan
menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah SWT. Menurut beliau, nama-nama dan
sifat-sifat Allah telah ditetapkan-Nya dalam al-Qur’an sebagaimana Dia menamai
dan mensifati diri-Nya sendiri dengan tanpa penta’wilan, penyamaan dengan
ciptaan-Nya, dan tanpa harus dihitung dengan bilangan yang sangat terbatas,
delapan, sepuluh, dua puluh, atau bahkan menafikannya. Hal tersebut sangat
bertentangan dengan apa yang telah ditetapkan Allah SWT., dengan manafikan atau
mambatasi nama atau sifat-Nya tersebut berarti mengurangi kebesaran dan
kesempurnaan-Nya. Dialah Tuhan yang maha sampurna dan disucikan dari segala
kekurangan.
Ibnu Taimiyah
mengklasifikasikan ulama khalaf dalam memahami dan menetapkan sifat Allah
menjadi 4 golongan, yaitu:
- Golongan pertama, yaitu golongan yang tidak mau mensifati Allah dengan ada (wujûd) atau tidak ada (‘adam), karena dalam keyakinan mereka, jika Allah disifati dengan ada, maka itu menyerupakan dengan sesuatu yang ada (maujûd). Begitu pula sabaliknya, maka menyerupakan-Nya dengan sesuatu yang tidak ada (ma‛dûm), itu adalah sesuatu yang tidak mungkin bagi Allah, karena Dia dinafikan dari segala persamaan.
- Golongan kedua, adalah golongan yang mensifati Allah dengan nafî, tetapi tidak mensifati dengan antonimnya (itsbât); Dalam pengertian mereka mencabut atau menafikan sifat Allah, tatapi mereka tidak menetapkan sifat untuk-Nya. Mereka berkata: “Kami tidak berkata Allah ada, tetapi Dia, bukan tidak ada. Kami tidak berkata Allah hidup, tetapi Dia tidak mati, dan seterusnya”. Hal ini terjadi, karena dalam asumsi mereka, jika ditetapkan nama atau sifat bagi-Nya, maka terjadi penyerupaan dengan ciptaan-Nya.
- Golongan ketiga, adalah golongan yang menetapkan nama-nama Allah tanpa menetapkan sifat-sifat-Nya. Mereka berkata: “Allah Maha Melihat, Mendengar, Mengetahui, dan seterusnya, tetapi Dia melihat tanpa penglihatan, Dia mendengar tanpa pendengaran, Dia mengetahui tanpa pengetahuan, dan seterusnya”. Mereka adalah golongan Mu’tazilah.
- Golongan keempat, adalah golongan yang menetapkan sembilan puluh sembilan nama Allah, tetapi mensifatinya dengan sifat yang sangat terbatas, yang sesuai dengan akal dan mengingkari yang lain yang tidak sesuai dengan akal. Mereka adalah golongan Asya’irah yang menetapkan sifat Allah dengan delapan sifat, yaitu: hidup (hayât), bicara (kalâm), melihat (bashar), mendengar (sam’), berkehendak (irâdah), mengetahui (‛ilm), dan mampu (qadar).
Keempat golongan
ini, menurut Ibnu Taimiyah adalah golongan ahli bid’ah yang sangat
berlebih-lebihan (Ahl al-Zaigh)
dalam mengesakan Allah, yang mengakibatkan penafian terhadap
hak-hak-Nya. Mereka tidak mencapai derajat kekufuran, karena mereka hanya
terperangkap dalam perdebatan filosofis dan logik dalam masalah-masalah
teologik.
c. Konsep Teologi al-Ghazali
Dalam konsep
teologi al-Ghazali, dua kalimat syahadat merupakan pokok yang mengandung
unsur-unsur aqidah Islam yang mencakup tentang penetapan dzat Allah,
sifat-sifat-Nya, pekerjaan-Nya (af‛âluhu), dan menetapkan kebenaran
risalah Muhammad. Dengan dua kalimat shahadat
al-Ghazali menetakan empat pilar aqidah Islam yang dijadikan barometer
kadar iman seseorang, empat pilar
tersebut adalah:
Ø Pilar
pertama: mengetahui dzat Allah Yang Maha Esa;
Ø
Pilar kedua: mengetahui
sifat-sifat Allah SWT.;
Ø
Pilar ketiga:
mengetahui pekerjaan-pekerjaan Allah SWT;
Ø
Pilar keempat: mempercayai
adanya peristiwa-peristiwa setelah kehidupan (sam‛iyât) dan membenarkan
berita Nabi SAW. tentang kekhalifahan (khilâfah) dan kepemimpinan (imâmah).
d. Teologi Ghazali dalam Timbangan
Aqidah Ibnu Taimiyah
Menurut Ibnu
taimiyah, al-Ghazali dalam setiap pendapat-pendapatnya selalu dipengaruhi oleh
unsur-unsur filosofis dan logika, walaupun sebenarnya dia ingin keluar dari
dunia tersebut, ini dapat dibuktikan pada salah satu karya besarnya, “Tahâfut
al-Falâsifah”.
Dalam karya
besarnya ini, dia menolak teori-teori filsafat bahkan mengkafirkan para filosof
karena keyakinannya tentang qidam al-âlam (dahulunya alam), tetapi dia
tidak mampu membersihkan secara total teori-teori yang telah mendarah-daging pada dirinya tersebut, bahwa
Al-Ghazali tetap mengunakan teori-teori logika yang merupakan cabang dari
filsafat, seperti di Ihyâ’nya tentang teori kausalitas, dia berkata setelah menyebutkan ayat yang panjang
tentang wujud Allah, “...fitrah manusia dan dalil-dalil al-Qur’an sudah
cukup untuk membuktikan keberadaan Allah, tetapi untuk belajar dan mengikuti
para ulama, kita berkata dari dasar akal, ‘bahwa alam itu baru (hâdits),
kalau baru maka membutuhkan sebab
pembaharunya...”. Dari sini terlihat ketidakmampuan al-Ghazali untuk keluar
dari dunia filsafat.
Selain itu yang
perlu diperhatikan adalah pertentangan al-Ghazali dengan Ibnu Taimiyah dalam
menetapkan sifat-sifat Allah. Dia menetapkan sifat Allah hanya sebatas 10 sifat
yang sangat didukung dengan bukti-bukti logika, sedangkan Ibnu Taimiyah
menetapkan sifat-sifat-Nya sesuai dengan
apa yang ditetapkan-Nya di al-Qur’an tentang nama dan sifat-Nya tanpa melakukan
penta’wilan. Menurut Ibnu Taimiyah, membatasi sifat-sifat Allah dengan jumlah
yang sedikit sama dengan mengurangi kemaha-sempurnaan-Nya.
e. Ayat Mutasyabihat dan Ta’wil
Kalau kita
bicara tentang ayat-ayat mutasyabihat dan hukum menta’wilinya, antara boleh
atau tidak, maka kita tidak pernah terlepas dari kalam Allah dalam Surat Ali
Imran ayat 7 yang berbunyi: “ Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an)
kepada kamu. Diantara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi al-Qur’an, dan yang
lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong pada kesesatan, maka mereka
mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan
untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya
melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: ‘Kami beriman
kepada ayat-ayat mutasyabihat, semuanya itu dari sisi tuhan Kami’. Dan tidak
dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.
Para ahli tafsir
dalam menafsiri ayat ini berbeda pendapat menjadi dua kelompok. Perpecahan ini
bermula dari perbedaan dalam meletakan tanda berhenti ayat (waqaf).
Kelompok pertama meletakkan tanda waqaf setelah kalimat “Allah”,
sedangkan kelompok yang kedua meletakan tanda waqaf setelah kalimat “al-râsikhûn
fî al-‛ilm”.
Kelompok yang
pertama memberikan pengertian, bahwa hanya Allah yang mengetahui ta’wilnya dan
semuanya dikembalikan kepada-Nya. Sedangkan kelompok yang kedua memberikan
pengertian, bahwa yang mengetahui maknanya hanya Allah dan orang-orang yang
mumpuni ilmunya (al-râsikhûn ).
f. Ayat Mutasyabihat, antara Ibnu
Taimiyah dan al-Ghazali
Dalam
permasalahan ayat mutasyabihat, kedua
ulama ini sepakat untuk mengikuti para golongan
yang tidak melakukan pena’wilan, karena hal itu diyakini lebih selamat.
Tetapi ada sedikit perbedaan antara keduanya dalam memahami kata ta’wil.
Ibnu Taimiyah menolak mutlak semua bentuk penafsiran ayat-ayat mutasyabihat
yang keluar dari arti sebenarnya (al-ma‛nâ al-zhâhir), dia menafsiri
ayat-ayat tersebut sesuai dengan makna sebenarnya tanpa melakukan penyamaan
atau penyerupaan yang dapat diterima akal.
Ibnu Taimiyah
ditanya seseorang, “Apakah Allah mempunyai dua tangan?, dia menjawab, “Ya, Dia
mempunyai dua tangan.” Dia berdalil dengan ayat al-Qur’an yang berbunyi “Tangan
Allah di atas tangan mereka semua.” Dan sabda Rasul, “Sesungguhnya Allah
menciptakan Adam dengan tangan-Nya, menciptakan surga dengan tangan-Nya,
menulis Taurat dengan tangan-Nya”.
Berbeda dengan
Ibnu Taimiyah, al-Ghazali sepakat bahwa tidak seorang pun mengetahui hakikat
dari makna ayat-ayat tersebut, tetapi dia juga tidak mau mengartikan ayat-ayat
yang berhubungan dengan Allah dengan arti yang tidak layak baginya. al-Ghazali
tidak melakukan penta’wilan sebagaimana yang dilakukan kebanyakn ulama kalam,
seperti memaknai kata “yad” (tangan) dalam ayat “yadullahi fauqa aidîhim” dengan makna
kekuasaan Allah, dan sebagainya.
Al-Ghazali tidak
mengartikan kata “yad” dalam ayat tersebut dengan artian sebagaimana
tangan sebenarnya, yaitu anggota badan yang terdiri dari tulang, daging dan
kulit. Tetapi dia memahaminya seperti dia memahami kalimat, “Negara ini berada
di tangan seorang raja.” dengan tanpa mengetahui hakikat sebenarnya.
PENUTUP
Islam dengan
ajarannya yang sangat sempuna, merupakan nikmat Allah yang tidak pernah
diberikan kepada umat sebelumnya. Islam memberikan kebebasan kepada pemeluknya
untuk berfikir, tetapi bukan kebebasan yang mutlak, kebebasan yang tidak
bertentangan dengan ketententuan yang telah digariskan oleh Al-Qur’an dan
Hadits. Kenikmatan pikiran yang telah dianugrahkan Allah kepada kita, tidak
digunakan untuk merusak tatanan yang sudah rapi dan permanen. Inilah yang harus
kita perhatikan demi memelihara ajaran Islam yang universal. Inilah sedikit
goresan tinta yang dapat dipersembahkan oleh penulis, semoga dapat diambil
manfaatnya, dan dapat dijadikan pencerahan untuk membentuk kerangka berfikir
yang positif-logis. Penulis sepakat, kebenaran tetap ditangan Allah, bukan di
otak manusia. “Wallahu a’lam bi showab”.
izin copas gan
BalasHapus