Laman

Minggu, 06 November 2011

KONSEP TEOLOGI IBNU TAIMIYAH DAN KONSEP TEOLOGI AL-GHAZALI


KONSEP TEOLOGI  IBNU TAIMIYAH DAN
KONSEP TEOLOGI AL-GHAZALI

Sejarah Singkat Ibnu Taimiyah

a. Nama dan Nasab

Beliau adalah Imam, tauladan, ilmuan, dan penyeru ajaran Muhammad, baik dengan kata, tindakan, kesabaran maupun jihadnya; Revivalis ajaran Islam yang sempurna dengan inspirasi al-Qur’an sebagai wahyu Allah SWT. dan al-Sunnah sebagai cerminan budi perbuatan sang Rasul. Dia adalah Ahmad Taqiyuddin Abu Abbas bin Syihabuddin Abi Mahasin Abdul Halim bin Mujiddin Abi Barakat Abdus Salam bin Abi Muhammad Abdullah bin Abi Qasim al- Khudri bin Ali bin Abdullah. Keluarga ini dikenal dengan keluarga Ibnu Taimiyah.
Beliau lahir di Harran, salah satu kota induk di Jazirah Arabia yang terletak antara sungai Dajlah (Tigris) dengan Efrat, pada hari Senin 10 Rabi'ul Awal tahun 661H. Beliau berhijrah ke Damaskus (Damaskus) bersama orang tua dan keluarganya ketika masih kecil, disebabkan serbuan tentara Tartar atas negerinya.
Mereka menempuh perjalanan panjang pada malam hari dengan menyeret sebuah gerobak besar yang dipenuhi dengan kitab-kitab, bukan barang-barang perhiasan atau harta benda, tanpa ada seekor binatang tunggangan pun pada mereka.
Suatu saat, gerobak mereka mengalami kerusakan di tengah jalan, hingga hampir saja pasukan musuh memergokinya. Dalam keadaan seperti ini, mereka ber-istighatsah (mengadukan permasalahan) kepada Allah. Akhirnya mereka bersama kitab-kitabnya selamat sampai tujuannya.

b. Pertumbuhan dan Perhatiannya  Terhadap Ilmu

Semenjak kecil sudah nampak tanda-tanda kecerdasan pada diri beliau. Begitu tiba di Damaskus, beliau segera menghafalkan al-Qur'an dan mendalami berbagai cabang ilmu pada para ulama, huffazh dan ahli-ahli hadits negeri itu. Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat para tokoh ulama tersebut tercengang.
Ketika umur beliau belum mencapai belasan tahun, beliau sudah menguasai ilmu Ushuluddin dan sudah mendalami bidang-bidang tafsir, hadits dan  bahasa Arab. Selain itu, beliau telah mengkaji Musnad al-Imam Ahmad sampai beberapa kali, kemudian Kitab al-Sittah dan Mu'jam al-Thabarany al-Kabir.
Suatu kali, ketika beliau masih kanak-kanak, pernah ada seorang ulama besar dari Halab yang sengaja datang ke Damaskus, khusus untuk melihat si bocah bernama Ibnu Taimiyah yang kecerdasannya menjadi buah bibir. Setelah bertemu, ia memberikan tes dengan cara menyampaikan belasan matan hadits sekaligus. Ternyata Ibnu Taimiyah mampu menghafalkannya secara cepat dan tepat. Begitu pula ketika disampaikan kepadanya beberapa sanad, beliaupun dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang dan menghafalnya. Hingga ulama tersebut berkata: "Jika anak ini hidup, niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar, sebab belum pernah ada seorang bocah seperti dia.”
Sejak kecil beliau hidup dan dibesarkan di tengah-tengah para ulama, mempunyai kesempatan untuk mereguk sepuas-puasnya taman ilmu berupa kitab-kitab yang bermanfaat. Beliau gunakan seluruh waktunya untuk belajar dan belajar, menggali ilmu terutama Kitabullah dan sunah Rasul-Nya.
Lebih dari itu, beliau adalah orang yang keras pendiriannya dan teguh berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan Allah, mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Begitulah seterusnya Ibnu Taimiyah, selalu sungguh-sungguh dan tiada putus-putusnya mencari ilmu, sekalipun beliau sudah menjadi seorang ulama yang besar pada masanya.

c. Da'i, Mujahid, dan Pemelihara Ajaran Islam

Sejarah telah mencatat bahwa Ibnu Taimiyah bukan saja sebagai da'i yang tabah, liat, wara', zuhud dan ahli ibadah, tetapi beliau juga seorang pemberani yang ahli berkuda. Beliau adalah pembela tiap jengkal tanah umat Islam dari kezhaliman musuh dengan pedangnya, seperti halnya beliau adalah pembela aqidah umat dengan lidah dan penanya.

Dengan berani Ibnu Taimiyah berteriak memberikan komando kepada umat Islam untuk bangkit melawan serbuan tentara Tartar ketika menyerang Syam dan sekitarnya. Beliau sendiri bergabung dengan mereka dalam kancah pertempuran. Sampai ada salah seorang amir memberikan kesaksiannya: ".. tiba-tiba ditengah kancah pertempuran terlihat dia bersama saudaranya berteriak keras memberikan komando untuk menyerbu dan memberikan peringatan keras supaya tidak lari. " Akhirnya dengan izin Allah, pasukan Tartar berhasil dihancurkan, dan selamatlah negeri Syam, Palestina, Mesir dan Hijaz.
Tetapi karena ketegaran, keberanian dan kelantangan beliau dalam mengajak kepada kebenaran, akhirnya justru membakar kedengkian serta kebencian para penguasa, para ulama dan orang-orang yang tidak senang kepada beliau. Orang-orang yang tidak sependapat dengannya  meniupkan racun-racun fitnah sehingga beliau harus mengalami berbagai tekanan, dipenjara, dibuang, diasingkan dan disiksa.

d. Kehidupan Penjara

Kedudukan dan derajat yang tinggi yang diberikan Allah kepadanya memancing kecemburuan rival-rivalnya yang tidak sependapat dengannya. Hasutan dan lemparan-lemparan kebencian pun tidak dapat dihindari, kerena sudah menjadi sebuah kepastian ketika seseorang diberi kedudukan yang mulia oleh Allah, semakin tinggi pula hasutan-hasutan yang terlontar kepadanya. Hal inilah yang dialami Ibnu Taimiyah ketika tidak seorang pun menyamai kedudukannya, baik dalam bidang keilmuan maupun sosial.  Hembusan-hembusan fitnah yang ditiupkan oleh rival-rivalnya mengakibatkan beliau mengalami tekanan berat dalam berbagai penjara, tetapi dengan penuh kebijaksanaan, beliau menghadapi segalanya dengan tabah, tenang dan gembira. Terakhir, beliau harus masuk ke penjara Qal'ah di Damaskus. Dan beliau berkata: "Sesungguhnya aku menunggu saat seperti ini, karena di dalamnya terdapat kebaikan besar."
Dalam syairnya yang terkenal, beliau berkata:
 "Apakah yang diperbuat musuh padaku !!!!
Aku, taman dan dikebunku ada dalam dadaku
Kemanapun ku pergi, ia selalu bersamaku
dan tiada pernah tinggalkan aku.
Aku, terpenjaraku adalah khalwat
Kematianku adalah mati syahid
Terusirku dari negeriku adalah rekreasi.
Beliau pernah berkata dalam penjara: "Orang dipenjara ialah orang yang terpenjara hatinya dari Rabbnya, orang yang tertawan ialah orang yang ditawan oleh hawa nafsunya."
Ternyata penjara baginya tidak menghalangi kejernihan fitrah islahiyah-nya, tidak menghalanginya untuk berdakwah dan menulis buku-buku tentang aqidah, tafsir dan kitab-kitab bantahan terhadap ahli-ahli bid'ah.
Pengagum-pengagum beliau diluar penjara semakin banyak. Sementara di dalam penjara, banyak penghuninya yang menjadi murid beliau, diajarkannya oleh beliau agar mereka iltizâm kepada syari'at Allah, selalu beristighfar, tasbih, berdoa dan melakukan amalan-amalan shahih. Sehingga suasana penjara menjadi ramai dengan suasana beribadah kepada Allah. Bahkan dikisahkan banyak penghuni penjara yang sudah mendapat hak bebas, ingin tetap tinggal di penjara bersamanya. Akhirnya penjara menjadi penuh dengan orang-orang yang belajar tentang agama kepadanya.
Tetapi kenyataan ini menjadikan musuh-musuh beliau semakin dengki dan marah. Maka mereka terus berupaya agar penguasa memindahkan beliau dari satu penjara ke penjara yang lain. Tetapi inipun menjadikan beliau semakin terkenal. Pada akhirnya mereka menuntut kepada pemerintah agar beliau dibunuh, tetapi pemerintah tidak mendengar tuntutan mereka. Pemerintah hanya mengeluarkan surat keputusan untuk merampas semua peralatan tulis, tinta dan kertas-kertas dari tangan Ibnu Taimiyah.
Namun beliau tetap berusaha menulis di tempat-tempat yang memungkinkan dengan arang. Beliau tulis surat-surat dan buku-buku dengan arang kepada sahabat dan murid-muridnya. Semua itu menunjukkan betapa hebatnya tantangan yang dihadapi, sampai kebebasan berfikir dan menulis pun dibatasi. Ini sekaligus menunjukkan betapa sabar dan tabahnya beliau.
d. Kitab Dan Risalah-Risalahnya
Beliau adalah figur orang yang sangat gigih dan selalu haus akan ilmu, baik agama maupun yang lain. Bahkan sulit untuk menentukan dalam bidang apa beliau berkecimpung, apakah beliau ahli fiqih (faqih), ahli logika (mutakalim), ahli tafsir (mufassir), ahli hadits (muhaddits), filosof, atau yang lainnya. Hal itu dapat dilihat dalam karya-karya besarnya yang hampir dalam setiap bidang terdapat karyanya.
Para ulama sepakat, baik yang pro maupun yang kontra, bahwa jumlah karangan beliau dalam berbagai bidang ilmu agama mencapai 300 kitab. Diantaranya: Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir dan Tafsir ayât Asykalat (Al-Qur’an dan ilmunya), As’ilah fi Musthalah al-Hadits dan Syarh Hadits al-Nuzul (hadits dan ilmunya), Aqidah Wasithiyah dan Minhaj Al-Sunnah al-Nubuwah (teologi), Ushul Al-Fiqh dan Syarh Al-‘Umdah fi Al-Fiqh (Fiqih dan Ushulnya), al-Shufiyah wa al-Fuqara’ dan al-Risalah al-Tadmiriyah (tasawuf), al-Radd ala al-Manthiqiyin dan al-Radd ala al-Falâsifah (filsafat dan logika), Majmû‛  Fatâwa, Dar’u Ta‛ârudh al-Aql wa al-Naql, dan lain-lain.
e. Wafatnya
Beliau wafat di dalam penjara Qal'ah Damaskus disaksikan oleh salah seorang muridnya yang menonjol, Ibnul Qayyim Al-Jauzy. Beliau berada di penjara ini kurang lebih selama dua tahun tiga bulan. Selama dalam penjara beliau selalu beribadah, berdzikir, tahajjud dan membaca Al-Qur'an. Dikisahkan, dalam tiap harinya ia baca tiga juz. Selama itu pula beliau sempat  menghatamkan al-Qur'an delapan puluh satu kali.
Perlu dicatat bahwa selama beliau dalam penjara, tidak pernah mau menerima pemberian apa pun dari penguasa. Jenazah beliau dishalatkan di Masjid Jami' Damaskus sesudah shalat Zhuhur. Hampir semua penduduk Damaskus hadir untuk menshalatkan jenazahnya, termasuk para Umara', Ulama, tentara dan sebagainya, hingga kota Damaskus menjadi libur total hari itu. Bahkan semua penduduk Damaskus  tua, muda, laki-laki, perempuan, anak-anak keluar untuk menghormati kepergian beliau.
Beliau wafat pada tanggal 20 Dzu al-Hijjah 728 H,  dan dikuburkan pada waktu Ashar di samping kuburan saudaranya Syaikh Syarifuddin Abdullah  di pemakaman al-Shufiyah yang disaksikan kurang lebih 60.000 orang.



KONSERVASI AQIDAH ISLAMIYAH
a. Metodologi penafsiran Al-Qur’an Ibnu Taimiyah
Sebelum kita memahami lebih jauh tentang pemikiran keagamaan (al-Fikr al-Dîny) Ibnu Taimiyah, merupakan suatu keharusan kita untuk memahami bagaimana metode (manhaj) beliau dalam memahami dan menafsiri al-Qur’an. Mengapa demikian?, kerena al-Qur’anlah yang menginspirasinya dan mendasarinya dalam pendapat-pendapatnya tentang permasalahan-permasalahan agama (al-umûr al-Dîny). Dialah sosok ulama yang tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya, kecuali disertai dengan al-Qur’an atau Hadits Rasul, baik dalam permasalahan aqidah, fiqih, tazkiyah sampai permasalahan sosial masyakat dan politik.
Tokoh konservatif ini, dalam setiap da’wahnya selalu membawa jargon-jargon salaf (generasi terdahulu) untuk menentang dan mengkritisi ulama-ulama khalaf (generasi selanjutnya). Beliau berasumsi bahwa apa yang dikumandangkan golongan Khalaf sering melenceng dari Khithoh (garis) yang telah ditentukan generasi pendahulunya. Lebih dari itu, terkadang bertentangan dalam permasalahan tertentu.
Ajaran Islam yang murni, yang telah diwariskan oleh generasi cemerlang Islam (salaf al-shalih)   sudah menyatu dan mendarah mendaging dengan jiwanya. Inilah yang telah membentuk kerangka berfikirnya dalam berbagai disiplin ilmu. Tidak terkecuali dalam memahami dan  menafsiri al-Qur’an. Beliau meletakan tiga metode dalam memahami al-Qur’an, yang dijadikan dasar-dasar dalam pengambilan hukum-hukum agama (istinbat al-ahkâm). Tiga metode tersebut adalah:
  1. Tafsir al-Qur’an dengan sunnah Rasul SAW.;
  2. Tafsir al-Qur’an dengan ucapan dan perbuatan para sahabat;
  3. Tafsir al-Qur’an dengan ucapan dan perbuatan para tabi’in.
Ibnu Taimiyah sangat menyakini, bahwasannya Rasul tidak melewatkan satu ayat pun yang diwahyukan oleh Allah, kecuali beliau sampaikan kepada para pengikutnya dengan penjelasan yang sangat gamblang dan tidak menyisakan pertanyaan lagi. Begitu pula para sahabat, mereka adalah generasi pertama dan juga generasi terbaik Islam, yang mengetahui peristiwa turunnya wahyu dan mendengar secara langsung  penjelasan-penjelasan Rasul atas wahyu-wahyu Allah yang telah diturunkan kepadanya.
Kemudian disusul dengan generasi selanjutnya, yaitu para pengikut Sahabat (tabi’in). Mereka adalah generas kedua yang menerima ajaran-ajaran agama dari generasi pertama Islam dan telah ditetapkan oleh Rasul dalam haditsnya sebagai generasi terbaik Islam.
Kesinambungan itulah yang mendorong Ibnu Taimiyah untuk selalu meng-itba’ (mengikuti) jejak-jejak para generasi cermelang Islam tersebut dan beliau berkeyakinan bahwa apa yang terjadi pada masa itu sudah mewakili permasalahan umat di masa selanjutnya.
b. Konsep Teologi Ibnu Taimiyah
Dalam konsep teologi, Ibnu Taimiyah membagi menjadi tiga bagian:
1. Tauhîd al-Rububiyah  
Adalah bentuk pengesaan kepada Allah SWT. dalam tiga hal yang meliputi penciptaan (al-khalq), kepemilikan (al-mulk), dan pengaturan (al-tadbîr). Dalam hal ini hanya Allah yang menciptakan alam semesta dan semua perlengkapannya dan hanya Dialah yang memiliki semua isi alam ini, tidak ada ciptaan sekecil apapun kecuali Dialah yang memilikinya. Lebih dari itu, Dia juga yang  mengatur semua keharmonisan, keserasian, dan keselarasan alam semesta ini.
2. Tauhîd al-Ûlûhiyah
Tauhid ini merupakan bentuk  pengesaan terhadap Allah SWT. dalam bentuk ibadah, dengan  seorang hamba tidak akan melakukan penyembahan kepada selain Allah SWT. dengan membersihkan  segala sekutu dari-Nya. Dialah Dzat yang berhak untuk disembah, diagungkan dan dibesarkan nama-Nya.
Dalam dua tauhid yang pertama ini, Ibnu Taimiyah membedakan antara kalimat “al-Rab” dan “al-Ilah”  yang sebenarnya mempunyai kesamaan arti, yaitu Tuhan. Menurut beliau kedua kalimat yang bersinonim ini mempunyai arti yang sangat beda; “al- Rab”  bermakna Dialah dzat yang menciptakan hamba-Nya dan memberikan semua ciptaan-Nya kepadanya serta mengatur dan menunjukannya pada jalan-Nya yang lurus (al-Shirâth al- Mustaqîm). Sedangkan kalimat “al-Ilah” bermakna Dialah dzat yang berhak untuk dituhankan dan disembah dengan rasa cinta, pasrah, penghormatan dan pengagungan, tiada sekutu bagi-Nya.
3. Tauhîd al-Asma’ wa al-Shifât
Para ulama sepakat, baik salaf maupun khalaf tentang dua tauhid yang pertama, walaupun mereka berbeda pada istilah yang dipakainya. Berbeda sekali dengan jenis tauhid yang ketiga, yang telah dirumuskan oleh Ibnu Taimiyah tentang nama-nama Allah SWT. dan sifat-sifat-Nya. Beliau sangat berbeda dengan kebanyakan ulama kalam dan filosof (ulama khalaf) dalam memberikan dan menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah SWT. Menurut beliau, nama-nama dan sifat-sifat Allah telah ditetapkan-Nya dalam al-Qur’an sebagaimana Dia menamai dan mensifati diri-Nya sendiri dengan tanpa penta’wilan, penyamaan dengan ciptaan-Nya, dan tanpa harus dihitung dengan bilangan yang sangat terbatas, delapan, sepuluh, dua puluh, atau bahkan menafikannya. Hal tersebut sangat bertentangan dengan apa yang telah ditetapkan Allah SWT., dengan manafikan atau mambatasi nama atau sifat-Nya tersebut berarti mengurangi kebesaran dan kesempurnaan-Nya. Dialah Tuhan yang maha sampurna dan disucikan dari segala kekurangan.
Ibnu Taimiyah mengklasifikasikan ulama khalaf dalam memahami dan menetapkan sifat Allah menjadi 4 golongan, yaitu:
  1. Golongan pertama, yaitu golongan yang tidak mau mensifati Allah dengan ada (wujûd) atau tidak ada (‘adam), karena dalam keyakinan mereka, jika Allah disifati dengan ada, maka itu menyerupakan dengan sesuatu yang ada (maujûd). Begitu pula sabaliknya, maka menyerupakan-Nya dengan sesuatu yang tidak ada (madûm), itu adalah sesuatu yang tidak mungkin bagi Allah, karena Dia dinafikan dari segala persamaan.
  2. Golongan kedua, adalah golongan yang mensifati Allah dengan nafî, tetapi tidak mensifati dengan antonimnya (itsbât); Dalam pengertian mereka mencabut atau menafikan sifat Allah, tatapi mereka tidak menetapkan sifat untuk-Nya. Mereka berkata: “Kami tidak berkata Allah ada, tetapi Dia, bukan tidak ada. Kami tidak berkata Allah hidup, tetapi Dia tidak mati, dan seterusnya”. Hal ini terjadi, karena dalam asumsi mereka, jika ditetapkan nama atau sifat bagi-Nya, maka terjadi penyerupaan dengan ciptaan-Nya.
  3. Golongan ketiga, adalah golongan yang menetapkan nama-nama Allah tanpa menetapkan sifat-sifat-Nya. Mereka berkata: “Allah Maha Melihat, Mendengar, Mengetahui, dan seterusnya, tetapi Dia melihat tanpa penglihatan, Dia mendengar tanpa pendengaran, Dia mengetahui tanpa pengetahuan, dan seterusnya”. Mereka adalah golongan Mu’tazilah.
  4. Golongan keempat, adalah golongan yang menetapkan sembilan puluh sembilan  nama Allah, tetapi mensifatinya dengan sifat yang sangat terbatas, yang sesuai dengan akal dan mengingkari yang lain yang tidak sesuai dengan akal. Mereka adalah golongan Asya’irah yang menetapkan sifat Allah dengan delapan sifat, yaitu: hidup (hayât), bicara (kalâm), melihat (bashar), mendengar (sam’), berkehendak (irâdah), mengetahui (ilm), dan mampu (qadar).
Keempat golongan ini, menurut Ibnu Taimiyah adalah golongan ahli bid’ah yang sangat berlebih-lebihan (Ahl al-Zaigh)  dalam mengesakan Allah, yang mengakibatkan penafian terhadap hak-hak-Nya. Mereka tidak mencapai derajat kekufuran, karena mereka hanya terperangkap dalam perdebatan filosofis dan logik dalam masalah-masalah teologik.
c. Konsep Teologi al-Ghazali
Dalam konsep teologi al-Ghazali, dua kalimat syahadat merupakan pokok yang mengandung unsur-unsur aqidah Islam yang mencakup tentang penetapan dzat Allah, sifat-sifat-Nya, pekerjaan-Nya (afâluhu), dan menetapkan kebenaran risalah Muhammad. Dengan dua kalimat shahadat  al-Ghazali menetakan empat pilar aqidah Islam yang dijadikan barometer kadar iman seseorang,  empat pilar tersebut adalah:
Ø  Pilar pertama: mengetahui dzat Allah Yang Maha Esa;
Ø  Pilar kedua: mengetahui sifat-sifat Allah SWT.;
Ø  Pilar ketiga: mengetahui pekerjaan-pekerjaan Allah SWT;
Ø  Pilar keempat: mempercayai adanya peristiwa-peristiwa setelah kehidupan (samiyât) dan membenarkan berita Nabi SAW. tentang kekhalifahan (khilâfah) dan kepemimpinan (imâmah).
d. Teologi Ghazali dalam Timbangan Aqidah Ibnu Taimiyah
Menurut Ibnu taimiyah, al-Ghazali dalam setiap pendapat-pendapatnya selalu dipengaruhi oleh unsur-unsur filosofis dan logika, walaupun sebenarnya dia ingin keluar dari dunia tersebut, ini dapat dibuktikan pada salah satu karya besarnya, “Tahâfut al-Falâsifah”.
Dalam karya besarnya ini, dia menolak teori-teori filsafat bahkan mengkafirkan para filosof karena keyakinannya tentang qidam al-âlam (dahulunya alam), tetapi dia tidak mampu membersihkan secara total teori-teori yang telah  mendarah-daging pada dirinya tersebut, bahwa Al-Ghazali tetap mengunakan teori-teori logika yang merupakan cabang dari filsafat, seperti di Ihyâ’nya tentang teori kausalitas, dia  berkata setelah menyebutkan ayat yang panjang tentang wujud Allah, “...fitrah manusia dan dalil-dalil al-Qur’an sudah cukup untuk membuktikan keberadaan Allah, tetapi untuk belajar dan mengikuti para ulama, kita berkata dari dasar akal, ‘bahwa alam itu baru (hâdits), kalau baru maka  membutuhkan sebab pembaharunya...”. Dari sini terlihat ketidakmampuan al-Ghazali untuk keluar dari dunia filsafat.
Selain itu yang perlu diperhatikan adalah pertentangan al-Ghazali dengan Ibnu Taimiyah dalam menetapkan sifat-sifat Allah. Dia menetapkan sifat Allah hanya sebatas 10 sifat yang sangat didukung dengan bukti-bukti logika, sedangkan Ibnu Taimiyah menetapkan sifat-sifat-Nya  sesuai dengan apa yang ditetapkan-Nya di al-Qur’an tentang nama dan sifat-Nya tanpa melakukan penta’wilan. Menurut Ibnu Taimiyah, membatasi sifat-sifat Allah dengan jumlah yang sedikit sama dengan mengurangi kemaha-sempurnaan-Nya.
e. Ayat Mutasyabihat dan Ta’wil
Kalau kita bicara tentang ayat-ayat mutasyabihat dan hukum menta’wilinya, antara boleh atau tidak, maka kita tidak pernah terlepas dari kalam Allah dalam Surat Ali Imran ayat 7 yang berbunyi: “ Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepada kamu. Diantara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat,  itulah pokok-pokok isi al-Qur’an, dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong  pada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: ‘Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat, semuanya itu dari sisi tuhan Kami’. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.
Para ahli tafsir dalam menafsiri ayat ini berbeda pendapat menjadi dua kelompok. Perpecahan ini bermula dari perbedaan dalam meletakan tanda berhenti ayat (waqaf). Kelompok pertama meletakkan tanda waqaf setelah kalimat “Allah”, sedangkan kelompok yang kedua meletakan tanda waqaf setelah kalimat “al-râsikhûn fî al-‛ilm”.
Kelompok yang pertama memberikan pengertian, bahwa hanya Allah yang mengetahui ta’wilnya dan semuanya dikembalikan kepada-Nya. Sedangkan kelompok yang kedua memberikan pengertian, bahwa yang mengetahui maknanya hanya Allah dan orang-orang yang mumpuni ilmunya (al-râsikhûn ).
f. Ayat Mutasyabihat, antara Ibnu Taimiyah dan al-Ghazali
Dalam permasalahan  ayat mutasyabihat, kedua ulama ini sepakat untuk mengikuti para golongan  yang tidak melakukan pena’wilan, karena hal itu diyakini lebih selamat. Tetapi ada sedikit perbedaan antara keduanya dalam memahami kata ta’wil. Ibnu Taimiyah menolak mutlak semua bentuk penafsiran ayat-ayat mutasyabihat yang keluar dari arti sebenarnya (al-ma‛nâ al-zhâhir), dia menafsiri ayat-ayat tersebut sesuai dengan makna sebenarnya tanpa melakukan penyamaan atau penyerupaan yang dapat diterima akal.
Ibnu Taimiyah ditanya seseorang, “Apakah Allah mempunyai dua tangan?, dia menjawab, “Ya, Dia mempunyai dua tangan.” Dia berdalil dengan ayat al-Qur’an yang berbunyi “Tangan Allah di atas tangan mereka semua.” Dan sabda Rasul, “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dengan tangan-Nya, menciptakan surga dengan tangan-Nya, menulis Taurat dengan tangan-Nya”.
Berbeda dengan Ibnu Taimiyah, al-Ghazali sepakat bahwa tidak seorang pun mengetahui hakikat dari makna ayat-ayat tersebut, tetapi dia juga tidak mau mengartikan ayat-ayat yang berhubungan dengan Allah dengan arti yang tidak layak baginya. al-Ghazali tidak melakukan penta’wilan sebagaimana yang dilakukan kebanyakn ulama kalam, seperti memaknai kata “yad” (tangan) dalam ayat  “yadullahi fauqa aidîhim” dengan makna kekuasaan Allah, dan sebagainya.
Al-Ghazali tidak mengartikan kata “yad” dalam ayat tersebut dengan artian sebagaimana tangan sebenarnya, yaitu anggota badan yang terdiri dari tulang, daging dan kulit. Tetapi dia memahaminya seperti dia memahami kalimat, “Negara ini berada di tangan seorang raja.” dengan tanpa mengetahui hakikat sebenarnya.





PENUTUP

Islam dengan ajarannya yang sangat sempuna, merupakan nikmat Allah yang tidak pernah diberikan kepada umat sebelumnya. Islam memberikan kebebasan kepada pemeluknya untuk berfikir, tetapi bukan kebebasan yang mutlak, kebebasan yang tidak bertentangan dengan ketententuan yang telah digariskan oleh Al-Qur’an dan Hadits. Kenikmatan pikiran yang telah dianugrahkan Allah kepada kita, tidak digunakan untuk merusak tatanan yang sudah rapi dan permanen. Inilah yang harus kita perhatikan demi memelihara ajaran Islam yang universal. Inilah sedikit goresan tinta yang dapat dipersembahkan oleh penulis, semoga dapat diambil manfaatnya, dan dapat dijadikan pencerahan untuk membentuk kerangka berfikir yang positif-logis. Penulis sepakat, kebenaran tetap ditangan Allah, bukan di otak manusia. “Wallahu a’lam bi showab”.

1 komentar: